Pages


Tampilkan postingan dengan label Teknik Kimia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teknik Kimia. Tampilkan semua postingan

A Look at Common Industrial Chemicals

Asam Sulfat (H2SO4) – Senyawa yang biasa digunakan dalam leaching dan scrubbing dan penetralisir substansi alkali. Mungkin senyawa ini merupakan senyawa asam yang paling lumrah digunakan di berbagai industri. 

Nitrogen (N2) – Merupakan senyawa inert yang paling sering ditemukan di berbagai industri. Digunakan untuk berbagai macam kebutuhan mulai dari pelapis tangki (untuk mencegah kontak oksigen dengan bahan campuran mudah terbakar) sampai pengontrol temperatur pada reaksi eksotermik. Nitrogen juga digunakan sebagai kontainer solid pembawa gas ketika kondisi bahan kimia yang rentan terhadap udara.

Oksigen (O2) – The ultimate oxydizer. Digunakan dalam berbagai aplikasi oksidasi, pembakaran, peleburan logam, hingga pembuatan senyawa sintetis. Oksigen dalam bentuk cair digunakan dengan baik dalam hulu ledak di berbagai peluru kendali.

Etilen (C2H4) – Senyawa yang paling populer dalam industri pembuatan polimer. Etilen juga digunakan untuk mematangkan dan zat pewarna dalam buah.

Ammonia (NH3) – Pelarut yang sering digunakan sebagai scrubber berbagai zat pengotor dalam aliran pembuangan bahan bakar minyak bumi sebelum dilepaskan ke atmosfer. Ammonia juga digunakan sebagai bahan pendingin.

Asam Phospat (H3PO4) – Kegunaan senyawa ini yang paling utama ada dalam industri pembuatan pupuk. Kegunaan lainnya, biasa digunakan pada pembuatan minuman ringan dan berbagai produk makanan.

Sodium Hidroksida (NaOH) – Substansi alkali yang paling terkenal di industri. Digunakan dalam berbagai macam industri pembuatan pewarna dan sabun. Senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan pembersih yang baik dan penetralisir asam. Senyawa ini juga dikenal dengan nama lye.

Propilen (C3H6) – Salah satu pelopor industri polimer.

Klorin (Cl2) – Digunakan dalam pembuatan bleaching agent dan titanium dioksida. Akan tetapi akhir-akhir ini penggunaan klorin mulai dibatasi dalam industri pembuatan bleaching agent.

Sodium Carbonat (Na2CO3) – Biasa dikenal dengan nama soda abu, senyawa ini digunakan dalam berbagai senyawa pembersih, pembuatan sabun, pembuatan gelas, pembuatan pulp, dan sebagai water softener dalam industri perminyakan.

Nitrobenzene (C6H5NO2) – Secara umum digunakan dalam pembuatan aniline dan zat aditif pada karet sebagai anti-oksidant (mencagah oksidasi).

Aluminum Sulfat (Al2(SO4)3) – Digunakan pada industri pembuatan kertas dan pada penanganan limbah cair sebagai pH buffer.

Methyl tert-Butyl ether (MTBE) – Senyawa yang terkenal dalam perannya sebagai aditif bensin (oxygenate – gasoline additive). Akan tetapi karena efeknya yang beracun, penggunaan MTBE mulai dikurangi dan digantikan dengan ethanol.

Asam Nitrat (HNO3) – Dikenal dengan nama air keras, senyawa ini digunakan dalam berbagai pembentukan senyawa sintetis, pembantukan senyawa-senyawa grup nitro, pembuatan zat pewarna dan berbagai bahan peledak.

Benzene (C6H6) – Dahulu dukenal dengan nama benzol, dua kegunaan terbesar dari senyawa ini adalah sebagai reaktan untuk memproduksi etilbenzene (digunakan untuk membuat styrene) dan cumene (digunakan untuk membuat phenol).

Formaldehid (HCHO) – Formalin yang kita kenal merupakan larutan 40 persen Formaldehid dan 60 persen air atau air dan metil alkohol. Formalin digunakan untuk berbagai aplikasi desinfektan, insektisida, fungisida dan deodoran. Belakangan ini ditemukan fakta bahwa formalin bersifat karsinogen.

Asam Klorida (HCl) – Senyawa ini diproduksi dalam berbagai industri sebagai produk samping reaksi klorin dengan hidrokarbon. Digunakan dalam jumlah besar untuk menyiapkan klorida, membersihkan logam dan beberapa proses industri lainnya.

Sumber:
- Cheresources.com
- Wikipedia.org
- Microsoft Student Encarta 2009

Tantangan Reverse Flow Reactor dalam Mengatasi Global Warming

Fenomena global warming merupakan kasus yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Penelitian ilmiah di dunia sekarang sedang tertuju pada teknologi bagaimana cara mengatasi peristiwa global warming ini. Salah satu metodologi untuk mengatasi fenomena pemanasan global ini adalah dengan mengolah emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab fenomena ini. Salah satu gas rumah kaca yang berbahaya dan berjumlah banyak di atmosfer bumi kita adalah gas metana (CH4). Dampak bahaya dari gas metana seringkali dinyatakan dalam ekivalen dengan efek gas karbondioksida (Marín dkk., 2008).
Gas metana merupakan gas rumah kaca kedua terbanyak, yang memberikan dampak 20 kali lebih berbahaya daripada gas karbon dioksida. Gas metana dalam jumlah yang besar dilepaskan ke atmosfer bumi dari pertambangan batubara setiap tahunnya (Wang dkk, 2010). Sumber emisi gas metana yang cukup besar adalah dari industri batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Gas metana dapat dioksidasi sehingga menghasilkan gas karbon dioksida. Dengan demikian, pengaruh gas rumah kaca terhadap pemanasan global dapat tereduksi sebesar 87% (Hayes, 2004).

Reverse Flow Reactor
Reverse Flow Reactor (RFR)

Metana merupakan senyawa hidrokarbon yang sulit dibakar (Marin, 2005). Untuk dapat melangsungkan reaksi, gas metana harus dipanaskan sampai temperatur yang relatif tinggi (+ 500oC). Sedangkan untuk reaksi katalitik, diperlukan temperatur sekitar 1000oC agar aktivitas katalis semakin baik. Akan tetapi, emisi gas metana akibat kebocoran berada pada temperatur lingkungan sehingga diperlukan pemanasan awal sebelum metana dimasukkan ke dalam reaktor. Selain itu, konsentrasi emisi gas metana akibat kebocoran ini rendah dan berfluktuasi sehingga memerlukan teknologi yang tepat untuk mengolahnya (Salomons dkk., 2003). Jurnal Energi Fuels 2010 juga menyatakan bahwa kebocoran emisi gas metana, yang diberikan nama VAM (ventilation air methane), bersifat tidak stabil dan biasanya memiliki konsentrasi kurang dari 1 %-volum sehingga tidak dapat dibakar dengan metode pembakaran yang tradisional. Oleh karena itu, teknologi pengolahan yang efisien telah menjadi tantangan bagi para peneliti di dunia (Wang dkk, 2010).
Hingga saat ini, belum ada teknologi yang tepat dan memuaskan dalam mengolah emisi gas metana. Salah satu metode yang telah dicoba adalah dengan mengoksidasinya di dalam reaktor katalitik aliran bolak-balik (Reverse Flow Reactor, RFR). Perbedaan utama reaktor ini dengan reaktor searah adalah arah alirannya. RFR menggunakan 2 arah aliran yang saling berlawanan. Jika reaktor dirancang dan dioperasikan dengan prosedur yang tepat, aliran bolak-balik seperti ini dapat menjebak panas (heat trap) yang dihasilkan dari reaksi oksidasi metana yang bersifat eksotermik, sehingga temperatur di dalam reaktor cukup tinggi. Dengan demikian, gas metana tidak perlu dipanaskan dengan preheater sebelum oksidasi metana berlangsung (Salomons dkk., 2003). Reaksi oksidasi metana tersebut akan dapat mengurangi dampak pemanasan global dari efek gas rumah kaca seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
Reaktor katalitik aliran bolak balik merupakan salah satu alternatif dari pengoperasian reaktor tak tunak. Konsep pengoperasian dengan prinsip utama mengubah aliran yang melalui reaktor secara periodik dikenal dengan nama Reaktor Katalitik Aliran Bolak-Balik (Reverse Flow Reactor, RFR) (Budhi, 2004). Reaktor katalitik aliran bolak-balik merupakan reaktor unggun diam (fixed bed) yang arah aliran yang melalui reaktor dibuah secara periodik secara periodik dalam selang waktu tertentu yang sering dikenal dengan nama waktu ubah (switching time) (Budhi, 2005).
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan perancangan reaktor katalitik aliran bolak-balik untuk oksidasi emisi metana yaitu dengan menambahkan insulasi pada reaktor untuk menjebak panas secara sempurna. Sebagian panas dapat diambil dari insulasi tersebut agar panas dalam reaktor tidak berlebihan. Panas yang diambil tersebut dapat digunakan untuk membuat steam dan dapat dikonversi menjadi energi listrik (Litto dkk., 2006).
Reference:
  1. Budhi, Y.W.; Jaree, A.; Hoebink, J.H.B.J.; Schouten, J.C., “Simulation of Reverse Flow Operation for Manipulation of Catalyst Surface Coverage in the Selective Oxidation of Ammonia”, Chemical Engineering Science Vol 59, 2004.
  2. Budhi, Y.W.,”Reverse Flow Reactor Operation for Control of Catalyst Surface Coverage”, Disertasi Doktor, Technische Universiteit Eindhoven, 2005.
  3. Hayes, R.E., “Catalytic Solutions for Fugitive Methane Emissions in the Oil and Gas Sector”, Chemical Engineering Science 59 4073-4080, 2004.
  4. Litto, R.; Hayes, R.E.; Liu, B.,”Capturing Fugitive Methane Emissions from Natural Gas Compressor Buildings”, Journal of Environmental Management 84 (2007) 347-361, 2006.
  5. Marín, P.; Hevia, Miguel A.G.; Ordónez, S.; Díez, F.V., “Combustion of Methane Lean Mixtures in Reverse Flow Reactors: Comparison Between Packed and Structured Catalyst Beds”, Catalysis Today 105, 701–708, 2005.
  6. Marín, P.; Ordónez, S.; Díez, F.V., “Procedures for Heat Recovery in the Catalytic Combustion of Lean Methane–Air Mixtures in a Reverse Flow Reactor”, Chemical Engineering Journal 147, 356–365, 2008.
  7. Salomons, S.; Hayes, R. E; Poirier, M.; Sapoundjiev, H., “Flow Reversal Reactor for the Catalytic Combustion of Lean Methane Mixtures”, Catalysis Today 83, 59–69, 2003.
  8. Wang, Y.; Man, C.; Che, D.,” Catalytic Combustion of Ventilation Air Methane in a Reverse-Flow Reactor”, Energy Fuels 2010, 24, 4841–4848, 2010.

Sebuah Jalan Baru: Reaktor Tak Tunak

Kebanyakan proses kimia dirancang untuk beroperasi pada kondisi tunak (steady state). Reaktor yang sering digunakan secara luas dalam industri kimia pun biasanya dioperasikan pada kondisi tunak. Variabel proses pada reaktor dijaga pada kondisi konstan (tertentu) yang merupakan kondisi optimal untuk mendapatkan selektivitas dan konversi maksimal. Namun, dalam kenyataan beberapa variabel proses bervariasi seiring dengan waktu, dan rancangan keadaan tunak didasarkan pada nilai rata-rata dari kuantitas variabel yang berubah-ubah ini.
Kajian terbaru dari para peneliti menunjukkan bahwa operasi reaktor dinamik (tak tunak) pada beberapa kasus bisa menghasilkan produk reaksi yang lebih banyak atau distribusi produk yang lebih berarti dibanding reaktor keadaan tunak (Silveston, 1998). Pada kondisi tunak, katalis yang digunakan cenderung mengalami penjenuhan sehingga laju reaksi katalitik pada permukaan katalis menurun. Pada kondisi ini, selektivitas dan konversi reaksi mengalami penurunan. Fakta ini tentunya membuka jalan baru dalam pengembangan sebuah operasi proses kimia. Sebuah penemuan yang tentunya mampu menenggelamkan persepsi banyak orang yang cenderung lebih menyukai operasi tunak dalam proses kimia.
Perubahan variabel proses terutama temperatur terhadap waktu dapat mempertahankan laju reaksi di permukaan katalis pada kondisi optimal. Silveston (1998) mengemukakan bahwa peningkatan konversi dan selektivitas berawal dari perubahan secara temporer pada luas permukaan katalis yang aktif. Pada reaksi multiproduk, luas permukaan mempengaruhi distribusi produk yang dihasilkan. Situasi yang sangat diharapkan adalah luas permukaan katalis yang aktif sesuai dengan stoikiometri reaksi yang diinginkan terjadi ketika reaksi berlangsung (Budhi, 2005).
 Gambar 1. Reverse-flow oxidation catalyst reactor

Pada reaksi fasa gas berkatalis heterogen dalam unggun diam, kelakuan transien (tak tunak) memberikan kesempatan untuk menimbulkan perubahan dinamis permukaan katalis sehingga mempengaruhi laju reaksi katalitik. Prinsip ini telah dikembangkan melalui penggunaan siklus umpan (feed cycling) untuk meningkatkan konversi atau selektivitas reaktor (Silveston,1998). Reaktor tak tunak juga telah diaplikasikan dalam beberapa proses, seperti oksidasi parsial metan dalam reverse flow reactor pada Gambar 1, oksidasi zat aromatik seperti o-xylen dan toluen, reduksi VOC (volatile organic compound) dalam gas buang, dan sebagainya (Budhi, 2005).

Pengubahan secara periodik beberapa parameter kondisi reaktor seperti temperatur dan konsentrasi umpan juga dapat mengatasi keterbatasan operasional reaktor dari segi terrmodinamika dan kinetika reaksi.
Faktor terpenting dalam pengoperasian reaktor tak tunak adalah skala waktu pemberian gangguan (switching time). Switching time (ST) merupakan salah satu variabel operasi yang berpengaruh terhadap kinerja reaktor. Reaktor-reaktor tak tunak dapat dikategorikan menjadi tiga daerah operasi, yaitu (1) daerah operasi quasi steady state, adalah daerah di mana ST jauh lebih besar daripada waktu yang dibutuhkan sistem untuk merespon gangguan (tr), sehingga sistem akan mudah merespon gangguan yang diberikan dan mencapai kondisi tunak; (2) relaxed steady state atau biasa disebut daerah sliding, adalah daerah di mana ST jauh lebih kecil dari tr, gangguan yang diberikan tidak akan mempengaruhi sistem karena dinamika proses sangat lambat dan sistem seolah-olah berada dalam kondisi tunak; dan (3) daerah dinamik, ST hampir mendekati tr, dengan demikian variabel sistem akan berubah-ubah tiap waktu sehingga sistem tidak akan pernah mencapai kondisi tunak (adanya efek resonansi akibat gangguan). Kondisi (3) adalah kondisi yang cukup menarik untuk diamati karena sifat tidak tunak sistem terus berlangsung selama proses (Habibi, 2010).
Sumber:
  1. Budhi, Y.W., (2005): Reverse Flow Reactor Operation for Control of Catalyst Surface Coverage, Ph.D. Dissertation, Eindhoven University of Technology
  2. Habibi, M. (2010): Kelakuan Dinamik Konverter Katalitik Kendaraan Bermotor untuk Oksidasi CO Menggunakan Katalis Pt/g-Al2O pada Kondisi Hot-Run, Laporan Penelitian, Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung
  3. Sia,S. dan Wangsa, A., (2011): Pengolahan Emisi Gas Buang Mesin Biodiesel Secara Dinamik Menggunakan Konverter Katalitik. Laporan Finalis Lomba Inovasi Sains dan Teknologi. Institut Teknologi Bandung
  4. Silveston, P.L., (1998): Composition Modulation of Catalytic Reactors, Gordon and Breach, Ontario

Belajar Merancang Pabrik Kimia (Bagian III): Sistem Pengendalian dan Sistem Manajemen Pabrik serta Kajian Kelayakan Ekonomi

Suatu pabrik dirancang dan dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan nilai guna barang. Bahan baku yang awalnya memiliki nilai guna rendah jika diolah dalam pabrik akan menghasilkan suatu produk, baik produk akhir maupun produk intermediate, yang nilai gunanya lebih tinggi. Dengan mengubah nilai guna suatu bahan maka nilai jualnya juga berubah. Nilai jual yang tinggi tentu saja sangat diharapkan oleh semua pabrik karena dari situ perusahaan pengolah mendapatkan laba (profit).
  

Sistem Pengendalian
Untuk mendapatkan laba yang banyak maka barang yang dihasilkan tentulah harus mempunyai kualitas yang bagus. Kondisi selama proses produksi sangat mempengaruhi kualitas produk. Suatu proses akan berjalan dengan baik jika dioperasikan pada kondisi optimumnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat pengendali (controller).
Tugas controller adalah mereduksi signal kesalahan yaitu perbedaan antara signal setting dengan signal aktual. Hal ini sesuai dengan tujuan sistem pengendalian adalah mendapatkan signal aktual (yang diinginkan) sama dengan signal setting. Semakin cepat reaksi sistem mengikuti signal aktual dan semakin kecil kesalahan yang terjadi maka semakin baik kinerja sistem pengendali yang diterapkan.
Jika perbedaan antara nilai setting dengan nilai keluaran relatif besar maka controller yang baik seharusnya mampu mengamati perbedaan ini untuk segera menghasilkan signal keluaran untuk mempengaruhi proses. Dengan demikian sistem secara cepat mengubah keluaran proses sampai diperoleh selisih antara setting dengan keluaran yang diatur sekecil mungkin.
Jenis controller ada beberapa macam. Pertama proportional controller (P) yang memiliki keluaran yang sebanding dengan besarnya kesalahan signal (selisih antara besaran yang diinginkan dengan harga aktualnya). Keluaran proportional controller merupakan perkalian antara konstanta-konstanta proporsional dengan masukannya. Perubahan pada signal masukan akan segera menyebabkan sistem secara langsung mengubah keluarannya sebesar konstanta pengalinya. Apabila nilai konstanta proporsionalnya kecil, proportional controller hanya mampu melakukan koreksi kesalahan yang kecil sehingga akan menghasilkan respon sistem yang lambat. Jika nilai konstanta proporsional dinaikkan, respon sistem menunjukkan semakin cepat mencapai keadaan tunaknya. Akan tetapi jika nilai tersebut diperbesar sehingga mencapai harga yang berlebihan, akan mengakibatkan sistem bekerja tidak stabil atau respon sistem akan berosilasi. Jenis proportional controller biasanya digunakan untuk mengendalikan ketinggian cairan dalam tangki.
Kedua adalah integral controller yang berfungsi menghasilkan respon sistem yang memiliki kesalahan keadaan tunak . Kalau sebuah pabrik tidak memiliki unsur integrator (1/s), proportional controller tidak akan mampu menjamin keluaran sistem dengan kesalahan kondisi tunaknya nol. Integral controller memiliki karakteristik seperti halnya sebuah integral. Keluaran controller sangat dipengaruhi oleh perubahan yang sebanding dengan nilai signal kesalahan. Keluaran controller ini merupakan jumlahan yang terus menerus dari perubahan, keluaran akan menjaga keadaan seperti sebelumnya terjadi perubahan masukan. Dalam pemakaiannya biasanya proportional controller digabungkan dengan integral controller menjadi proportional integral controller (PI). Hasilnya berupa kurva berbentuk gelombang. Controller jenis ini biasanya digunakan untuk mengendalikan tekanan.
Ketiga adalah differential controller yang memiliki sifat seperti halnya suatu operasi derivatif. Perubahan yang mendadak pada masukan controller akan mengakibatkan perubahan yang sangat besar dan cepat. Ketika masukannya tidak mengalami perubahan, keluaran controller juga tidak mengalami perubahan. Differential controller umumnya dipakai untuk mempercepat respon awal suatu sistem, tetapi tidak memperkecil kesalahan pada kondisi tunak. Kerja differential controller hanya efektif pada lingkup yang sempit yaitu pada periode peralihan. Oleh karena itu differential controller tidak pernah digunakan tanpa ada controller lain dalam sebuah sistem.
Setiap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing proportional controller, integral dan diferensial dapat saling menutupi dengan menggabungkan ketiganya secara paralel menjadi proportional integral differential controller (controller PID). Elemen-elemen proportional controller, integral dan diferensial masing-masing secara keseluruhan bertujuan untuk mempercepat reaksi sebuah sistem, menghilangkan offset dan menghasilkan perubahan awal yang besar. Controller jenis ini biasanya digunakan untuk mengendalikan suhu dan laju alir dalam sebuah reaktor.

Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia
Guna menjalankan suatu proses di pabrik tidak hanya dibutuhkan teknologi yang canggih dan instrumentasi yang terkendali. Tetapi juga sumber daya manusia sebagai perancang, pelaksana dan pengendali proses. Secara fungsional suatu perusahaan dipimpin oleh seorang direktur utama yang bertugas menjalankan kepemimpinan perusahaan, menetapkan sistem dan tata kerja perusahaan dan menentukan kebijaksanaan perusahaan. Direktur utama memegang kekuasaan tertinggi di perusahaan.
Seorang direktur utama dibantu oleh beberapa direktur, kepala bagian, kepala seksi dan koordinator shift. Jumlah karyawan dari tingkat operator ke tingkatan lebih tinggi akan membentuk sebuah piramida. Artinya semakin ke atas jumlahnya semakin kecil.
Untuk pabrik-pabrik yang menggunakan sistem Continue (24 jam sehari dan 330 hari dalam setahun), karyawannya dibedakan menjadi 2 macam. Pertama karyawan regular yang mempunyai jam kerja tetap. Mereka bekerja setiap hari kerja dan libur pada hari Sabtu, Minggu dan hari besar. Kedua adalah karyawan shift yang terbagi dalam 4 regu dan dalam sehari terdapat 3 regu shift sedangkan 1 regu shift libur. Pembagian shift diatur sedemikian rupa sehingga sehabis shift malam, karyawan mendapat libur 2 hari. Biasanya dalam 1 kelompok shift terdapat seksi proses, utilitas, logistik, listrik dan instrumentasi, bengkel, safety dan keselamatan kerja. Ini biasanya berlaku pada pabrik-pabrik besar, seperti pabrik pembuatan keramik, atau pabrik-pabrik kimia lainnya.
Sedangkan untuk pabrik yang menggunakan sistem Batch, seperti pabrik-pabrik pembuatan makanan (tempe, tahu), tidak diberlakukan karyawan shift, artinya karyawan bekerja secara regular setiap hari.

Uji Kelayakan Ekonomi
Suatu pabrik layak didirikan jika telah memenuhi beberapa syarat antara lain safety-nya terjamin dan tentu saja dapat mendatangkan profit. Dalam hal ini kita akan memfokuskan pada kelayakan secara ekonomi saja. Untuk mendirikan suatu pabrik diperlukan modal yang cukup besar. Modal ini bisa berasal dari investor maupun dari pinjaman bank. Modal yang digunakan ada 2 macam yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap meliputi pembelian alat-alat, instalasi, pemipaan, instrumentasi, isolasi (jika perlu), listrik, utilitas, bangunan, tanah, engineering and construction, contractor’s fee dan contingency. Modal kerja besarnya tergantung pada jenis pabrik dan kapasitasnya. Modal kerja ini meliputi raw material inventory, in process inventory, product inventory, extended credit dan available cash.
Kedua modal di atas digunakan untuk biaya produksi yang terbagi menjadi 3 macam yaitu biaya produksi langsung, biaya produksi tidak langsung dan biaya tetap. Biaya produksi langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk pembiayaan langsung suatu proses, seperti bahan baku, buruh dan supervisor, perawatan, plant supplies, paten dan royalty dan utilitas. Biaya produksi tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendanai hal-hal yang secara tidak langsung membantu proses produksi, antara lain payroll overhead (seperti rekreasi karyawan), laboratorium, plant overhead, packing dan pengapalan. Biaya tetap adalah biaya yang tetap dikeluarkan baik pada saat pabrik berproduksi maupun tidak. Biaya ini mencakup depresiasi, pajak dan asuransi. Selain itu ada juga biaya umum yang meliputi administrasi, sales expenses, penelitian dan finance. Laba atau profit diperoleh dari hasil pengurangan harga jual dengan biaya produksi.
Selain berorientasi pada perolehan profit, perusahaan juga harus bisa mengembalikan modal apalagi jika modal itu berasal dari pinjaman. Waktu untuk pengembalian modal dinyatakan dengan persentase Return On Investment (ROI) yang dirumuskan sebagai perbandingan laba dengan modal tetap. Bisa juga dinyatakan dalan Pay Out Time (POT). Besarnya Return On Investment dan Pay Out Time berbeda untuk tiap jenis pabrik tergantung dari resiko yang ditimbulkan oleh proses dalam pabrik .
Uji kelayakan ekonomi juga dinyatakan dalam bentuk grafik hubungan kapasitas produksi dan biaya yang harus dikeluarkan. Akan terbentuk 2 buah titik yaitu Shut Down Point dan Break Even Point. Shut Down Point adalah suatu titik di mana pada kondisi itu jika proses dijalankan maka perusahaan tidak akan mendapatkan laba tetapi juga tidak menimbulkan kerugian. Jika pabrik beroperasi pada kapasitas di bawah titik Shut Down Point maka pabrik akan mendapatkan rugi. Titik Break Even Point adalah keadaan yang timbul jika pabrik beroperasi pada kapasitas penuh. Nilai Break Even Point yang baik untuk pabrik kimia biasanya berkisar antara 40% – 60%.
Dengan memperhatikan semua unsur, dari pemilihan lokasi, pemilihan teknologi, kapasitas, teknologi proses dan pemroses serta ditunjang dengan pengendalian proses dan sistem manajemen sumber daya manusia yang baik, maka dapat diperoleh laba yang optimum.

Bacaan selanjutnya:
* Aries, R.S. and Newton,R.D.,"Chemical Engineering Cost Estimation"
* Peters,M.S. and Timmerhous,K.D., "Plant design and Economic for Chemical Engineers"
* Ulrich,G.D, "Guide to Chemical Engineering Process Design and Economics"
* Rusli, Muhammad, "Sistem Kontrol" Johnson, Curtis, "Process Control Instrumentation Technology"

Belajar Merancang Pabrik Bagian I

Kata ‘pabrik’ bukan hanya milik para insinyur atau buruh semata. Bukan pula selalu mewakili sebuah sistem yang rumit, canggih dan sulit dipahami. Pabrik adalah sarana untuk memproduksi barang kebutuhan manusia. Tujuan pendirian pabrik adalah untuk bisa mendapatkan nilai tambah, biasanya nilai tambah secara ekonomi, dari bahan baku yang diolah menjadi produk baru yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Pabrik bisa digolongkan dalam dua kelompok besar berdasarkan sejauh mana sebuah reaksi kimia terlibat dalam proses produksi, yaitu pabrik manufaktur atau pabrik perakitan dan pabrik sintesis atau pabrik kimia.
Pabrik perakitan tidak mengubah bahan baku menjadi produk dengan reaksi kimia sebagai proses utama. Perubahan bahan baku menjadi produk bukan sebuah reaksi kimia. Pabrik perakitan mobil, pabrik konveksi dan pabrik rokok adalah beberapa contoh pabrik yang termasuk dalam kelompok ini. Pabrik kimia atau pabrik sintesis menyelenggarakan sebuah atau serangkaian reaksi kimia untuk mengubah bahan baku menjadi produk. Beberapa anggota kelompok ini misalnya pabrik sabun, pabrik alat-alat kosmetik dan pabrik gula. Pabrik-pabrik yang kerja utamanya membuat formulasi, hanya mencampurkan bahan-bahan kimia menjadi satu larutan atau campuran juga digolongkan sebagai pabrik kimia.
Tulisan ini ditujukan untuk menjadi gambaran umum mengenai alur pikir secara umum dalam merancang sebuah pabrik kimia. Namun demikian beberapa nilai yang perlu diperhatikan dalam merancang pabrik kimia seperti yang akan dibahas lebih lanjut bisa juga diterapkan dalam merancang pabrik perakitan.
Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan memberikan panduan tentang apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan teknologi proses produksi dan penentuan lokasi pabrik yang kemudian dilanjutkan dengan panduan menghitung laba kotor dan kebutuhan bahan baku per satuan kilogram produk. Panduan memilih dan merancang alat-alat yang akan digunakan pabrik akan dituangkan pada tulisan bagian kedua. Tulisan ini akan ditutup dengan panduan merencanakan tata letak pabrik serta perhitungan kelayakan ekonomi yang memperhitungkan seluruh pengeluaran yang akan dan mungkin, termasuk cicilan bunga bank, pada bagian ketiga.
Pemilihan Pabrik Yang Akan Dibangun Serta Teknologi Yang Akan Digunakan
Pemilihan pabrik yang akan dibangun secara umum digolongkan menjadi tiga motivasi. Karena permintaan pasar, karena ketersediaan bahan baku yang berlimpah serta karena tersedianya teknologi baru. Bisa jadi motivasi untuk dibangunnya sebuah pabrik merupakan kombinasi dua jenis motivasi di atas atau bahkan kombinasi ketiga-tiganya sekaligus.
Pembangunan pabrik karena permintaan pasar yang meningkat merupakan motivasi yang sangat lazim dan sesuai dengan hukum ekonomi. Hal yang perlu diselidiki lebih lanjut adalah apakah lonjakan permintaan pasar tersebut akan stabil terus meningkat di masa datang, atau ada alasan-alasan khusus yang mempengaruhi pasar, seperti alasan tidak stabilnya politik negara, embargo ekonomi, atau kecelakaan-kecelakaan yang dialami produsen lain, calon saingan, yang menyebabkan produsen tersebut menurunkan produksi. Perlu data akurat dan analisis pasar yang jeli dari orang-orang yang berpengalaman untuk memastikan kestabilan peningkatan permintaan pasar. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kapasitas produksi calon-calon saingan dari pabrik yang akan dibangun. Bisa jadi saingan tersebut sudah mengantisipasi lebih dahulu dan sudah mulai meningkatkan kapasitas produksi sebagai usaha mencuri start.
Motivasi membangun pabrik karena ketersediaan bahan baku merupakan motivasi yang sangat diharapkan dan didukung oleh pemerintah Indonesia. Fakta bahwa negara Indonesia punya sumber daya alam yang beraneka ragam dan berlimpah tidak perlu dipertanyakan lagi. Penggunaan bahan baku yang hanya ada di Indonesia akan meningkatkan daya saing pabrik tersebut. Bahan baku dari bidang pertanian menjanjikan keunggulan tersebut karena ada banyak jenis tumbuhan yang hanya bisa tumbuh alami di Indonesia. Hanya saja motivasi seperti ini memerlukan pemikiran yang kreatif, pemahaman terhadap teknologi kimia yang handal serta orang-orang yang memiliki visi tangguh. Tantangan lain adalah teknologi yang akan digunakan bisa jadi teknologi yang benar-benar baru atau teknologi lama yang perlu banyak modifikasi. Literatur juga terbatas disebabkan negara-negara maju jarang menyelenggarakan penelitian pengembangan teknologi untuk mengolah bahan baku yang tidak ada di dalam negerinya. Karena itu motivasi jenis ini memerlukan serangkaian penelitian dan pengkajian teknologi sebelum pabrik yang dicita-citakan akan didirikan.
Negara-negara maju saat ini berlomba-lomba membangun pabrik karena motivasi tersedianya suatu teknologi baru. Ketersediaan teknologi baru tidak hanya sekadar menyuguhkan suatu teknologi proses yang lebih hemat tapi bisa juga suatu produk baru. Hal ini bisa meningkatkan prestise negara tersebut di mata dunia. Pembangunan pabrik Compact Disc (CD) misalnya, adalah sebuah contoh pabrik yang dibangun karena ketersediaan suatu teknologi dan pengetahuan yang menyeluruh mengenai sinar laser dan apa yang mampu sinar laser akibatkan pada struktur kristal. Tapi tetap saja motivasi jenis ini butuh ide-ide yang cemerlang dan inovatif, yang percaya kalau fenomena sinar laser bisa digunakan sebagai sarana penyimpanan dan pembacaan data digital. Tidak semua teknologi baru bisa dikembangkan menjadi pabrik dengan produk baru.
Intinya, ketiga motivasi itu bisa berbuah menjadi sebuah pabrik apabila motivasi itu terdapat pada diri orang yang paham teknologi, punya visi tangguh, berani bersaing, memperhitungkan resiko dan berani menerima resikonya serta mau bekerja keras.
Pemilihan Lokasi Pabrik
Pemilihan lokasi pabrik secara umum bisa dikelompokkan berdasarkan dua alasan pemilihan, mendekati tempat bahan baku berada atau mendekati tempat pasar berada. Alasan pemilihan tersebut perlu mempertimbangkan biaya pengiriman dan transportasi, sarana dan prasarana di daerah sekitar serta kebijakan pemerintah daerah setempat.
Pabrik biasanya didirikan di sekitar tempat bahan baku berada karena alasan bahan baku memiliki konsentrasi yang terlalu rendah. Freeport rela membangun pabriknya di tengah hutan Papua walaupun perusahaan tersebut harus mengeluarkan biaya besar untuk melengkapi sarana transportasi, pembebasan tanah, perumahan karyawan dan lain-lain karena biaya produksi akan jauh lebih mahal jika tanah yang mengandung emas dan tembaga tersebut dibawa ke tanah Jawa dan didulang di Jawa. Alasan lain adalah bahan baku berupa gas atau cair yang perlu penanganan khusus dalam pemindahan dan transportasinya. Inilah sebabnya lokasi pengilangan gas alam dan minyak bumi berada di tempat terpencil. Pabrik yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku juga sering dibangun di dekat kawasan pertaniannya untuk menghindari kerusakan bahan baku karena busuk. Pabrik pengalengan ikan juga biasanya di dekat dermaga. Malah ada pabrik yang dibangun di atas kapal untuk menghindari ikan menjadi busuk dan menghemat biaya transportasi untuk pasar ekspor.
Istilah ‘mendekati pasar’ di sini bukan semata-mata berarti harus berjarak dekat dengan pasar, tapi maksudnya adalah memiliki akses yang mudah, murah dan cepat ke konsumen karena tersedianya sarana transportasi yang memadai. Pemilihan lokasi pabrik yang mendekati pasar adalah alasan yang lebih lazim digunakan. Bagi pabrik yang memproduksi produk yang rentan dan perlu penanganan khusus, seperti pabrik es krim, membangun pabrik di dekat pasar yang ditargetkan menjadi sangat penting. Pabrik yang memiliki banyak saingan juga perlu berada di daerah yang memiliki akses yang mudah dan cepat ke pasar. Pabrik-pabrik minuman ringan (soft drink) membangun pabrik pengemasan dalam botol (bottling company) di berbagai tempat untuk memperluas pasarnya dan untuk menjaga agar konsumennya tidak beralih ke produk lain yang sejenis. Istilah pasar sendiri tidak semata-mata pasar domestik namun juga berarti pasar mancanegara jika perusahaan berorientasi pada produk ekspor. Bagi pabrik seperti ini, lokasi di dekat dermaga atau bandar udara menjadi contoh lokasi pabrik yang mendekati pasar. Bahkan kadang-kadang ada pabrik yang membangun dermaganya sendiri untuk kebutuhan ekspor bila dermaga umum tidak layak atau terlalu ramai.
Pemilihan lokasi mendekati pasar biasanya lebih disukai apabila pemerintah daerah setempat memiliki dan mengatur tata kota dengan visi sebagai kota kawasan industri. Segala sarana perhubungan seperti jalan raya dan jalan bebas hambatan, dermaga dan bandara serta sarana utilitas seperti listrik dan air bersih adalah milik umum yang diusahakan oleh pemerintah. Sarana perumahan untuk karyawan juga akan mudah terjangkau dari kawasan pabrik jika kota tersebut memiliki tata kota yang baik sebagai kota industri. Sarana hiburan bagi karyawan tidak perlu disediakan oleh perusahaan karena pihak swasta akan berlomba-lomba untuk membangunnya di kota tersebut.
Akan lain halnya jika lokasi pabrik mendekati bahan baku dan harus didirikan di lokasi terpencil. Segala sarana perhubungan, sarana utilitas, perumahan karyawan berikut sarana hiburan dan peribadatannya perlu menjadi perhatian perusahaan pemilik pabrik. Hal ini akan berarti tambahan biaya investasi. Tetapi perusahaan yang didirikan di lokasi mendekati bahan baku biasanya memiliki keuntungan biaya operasional yang lebih ringan serta dukungan pemerintah daerah setempat. Bahkan kadang-kadang perusahaan bisa mendesak pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan perusahaan misalnya kelonggaran peraturan mengenai lingkungan hidup dan ketenagakerjaan. Kebijakan pemerintah menjadi faktor yang sangat mempengaruhi perolehan profit dan benefit bagi perusahaan. Pemerintah daerah kawasan industri akan menetapkan upah minimum regional yang tinggi serta peraturan lingkungan yang ketat. Kebijakan ini berani dilakukan karena pemerintah daerah tersebut sadar akan nilai tawar dari kawasannya. Oleh sebab itu perusahaan yang akan membangun pabrik di kawasan industri harus menghadapi biaya operasional yang lebih besar untuk pengeluaran sosial (social cost).
Pada akhirnya pemilihan lokasi mendekati bahan baku atau mendekati pasar juga berdasarkan keuntungan ekonomi (profit) dan keuntungan sosial kemasyarakatan (benefit) dari akibat pemilihan lokasi. Dalam rangkaian tulisan ini hanya dibahas analisis keuntungan ekonomi (profit). Untuk keperluan tersebut perlu perhitungan yang cermat dalam neraca massa dan energi pabrik produksi serta pemilihan sistem proses dan sistem pemroses yang paling efisien. Panduan mengenai perhitungan dan perancangan sistem proses dan sistem pemroses akan disampaikan pada bagian berikutnya.
Bacaan lebih lanjut:
*Turton,Bailie, Whiting& Shaelwitz “ Analysis Synthesis and Design of Chemical Processes”
*Smith “ Chemical Process Design”
*Bowman “ Applied Economic Analysis for Technologiest, Engineers and Managers”
*Martyn.S.Ray & Martin.G.Sneesby “ Chemical Engineering Design Project”
*Tarek.M. Khalil “ Management of Technology “
*Dutta & Manzoni “ Process Reengineering, Change&Performance Improvement”
*Kunto Mangkusubroto & Listiarini Trisnadi “ Analisa Keputusan”
*Soesilo & Wilson “ Site Remediation, planning & management”

Belajar Merancang Pabrik

Tujuan utama usaha merancang dan membangun pabrik kimia adalah mendapatkan nilai tambah dari segi ekonomi dari suatu bahan baku. Peningkatan nilai ekonomi dilakukan dengan cara mengolah bahan baku menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga perusahaan pengolah memperoleh laba (profit). Pada pabrik yang memproduksi barang kimia dasar seperti pupuk urea, asam sulfat, etanol dan sejenisnya, patokan mutunya semata-mata hanyalah komposisi dan kemurnian. Harga jual produk dan bahan baku untuk masing-masing kemurnian tertentu dan tetap. Bagi pabrik-pabrik seperti ini, pilihan untuk mendapatkan laba lebih banyak bukan dengan meningkatkan mutu melainkan dengan cara menghemat ongkos produksi dan memperbanyak jumlah produk yang dihasilkan per tahunnya. Jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu tertentu inilah yang dinamakan kapasitas produksi.





Perhitungan kapasitas produksi yang cermat menjadi aspek yang sangat penting dalam usaha memperoleh laba lebih banyak. Tentu saja perhitungan ini harus didukung dengan analisa kebutuhan pasar yang cermat pula sebagaimana yang telah disinggung pada bagian 1. Meningkatkan kapasitas produksi dapat dilakukan dengan cara menambah dan atau modifikasi peralatan yang ada agar bisa beroperasi lebih optimal dan efisien. Usaha modifikasi ini membutuhkan pemahaman tentang sistem proses dan sistem pemroses.
Andaikan Anda ingin mengawetkan ikan bandeng. Anda memiliki beberapa pilihan cara pengawetan: dikeringkan, diasinkan atau diasapkan. Cara-cara pengawetan ini dinamakan sistem proses. Jika Anda memilih sistem proses pengasapan untuk mengawetkan bandeng, untuk selanjutnya hanya dinamakan sistem pengasapan. Produk Anda adalah bandeng asap. Untuk membuat bandeng asap, sekali lagi Anda menjumpai pilihan sistem proses, menggunakan asap dalam bentuk gas atau asap cair. Jika Anda memilih menggunakan asap gas, Anda membutuhkan tungku untuk menghasilkan asap dan ruang pengasapan. Jika Anda memilih menggunakan asap cair, Anda membutuhkan wadah, ember misalnya, untuk merendam bandeng dalam asap cair. Tungku penghasil asap, ruang pengasapan dan ember adalah sistem pemroses. Ilustrasi mengenai bandeng asap ini diharapkan dapat memantapkan pemahaman terhadap sistem proses dan sistem pemroses.
Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang terkendali. Untuk lebih mudah, rangkaian sistem proses produksi ini dinamakan teknologi proses. Selain permintaan pasar dan ketersediaan bahan baku serta utilitas, sebagaimana telah disinggung pada bagian 1, kinerja teknologi proses juga menjadi patokan dalam menetapkan kapasitas produksi karena bisa jadi suatu teknologi proses memiliki batas kapasitas minimum agar perusahaan tetap mendapat laba.
Teknologi proses yang dijual dalam bentuk lisensi biasanya ditampilkan dalam bentuk rangkaian sistem proses yang dinamakan diagram alir atau block diagram. Diagram alir yang lebih rinci menampilkan rangkaian sistem pemroses dan dinamakan flow chart. Segala lisensi yang dipatenkan dan diperdagangkan merupakan lisensi atau paten untuk rancangan teknologi proses. Anda mungkin sering mendengar proses Kraft untuk teknologi proses produksi keju, proses Richard untuk pemurnian garam dapur, proses Kelloggs untuk teknologi proses produksi susu bubuk, proses Faurchild untuk proses produksi kaca jendela. Ibarat penghargaan Nobel untuk ilmuwan, penghargaan Pulitzer untuk jurnalis, maka Kirkpatrick Award adalah penghargaan bertaraf internasional bagi para perancang teknologi proses produksi pabrik kimia yang dianggap memberikan kontribusi atau terobosan baru yang paling kreatif di dunia perancangan teknologi proses. Diagram Alir dan Neraca Massa & Energi
Usaha membuat block diagram menjadi flow chart memerlukan perhitungan neraca massa dan energi. Neraca massa adalah kajian jumlah material yang masuk, keluar dan yang terakumulasi dari tiap-tiap sistem proses. Neraca energi adalah rangkaian proses keseluruhan serta kajian tentang jumlah energi (panas) yang harus dipasok atau dikeluarkan dari tiap-tiap sistem proses dan rangkaian proses secara keseluruhan. Perkembangan teknologi komputasi telah banyak membantu dalam penyediaan berbagai software untuk perhitungan neraca massa dan energi, di antaranya Hisys dan ChemCad.
Data yang paling menarik dari neraca massa dan energi adalah jumlah masing-masing bahan baku, serta bahan bakar yang dibutuhkan untuk memproduksi produk per satuan jualnya, misalnya per kilo atau per liter. Perhitungan perolehan produk dapat ditentukan dari data tersebut. Perolehan bermakna, berapa persen bahan baku yang diumpankan berubah menjadi produk. Perhitungan laba per satuan jual juga dapat ditentukan dari data ini. Jika Anda ingin modal investasi untuk membangun pabrik didapat kembali setelah pabrik beroperasi dalam kurun waktu tertentu, Anda bisa memperkirakan seberapa banyak produk yang harus dibuat dalam kurun waktu tersebut dengan data ini. Dengan kata lain, Anda telah menetapkan kapasitas produksi Anda.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung neraca massa dan energi adalah penggunaan dasar perhitungan dalam kaitannya dengan teknologi proses. Pabrik yang menyelenggarakan proses produksi secara sinambung (continuous) 24 jam sehari 300 hari setahun seperti pabrik pupuk dan pabrik pengilangan minyak bumi menggunakan dasar perhitungan laju produksi, laju material yang masuk dan keluar sistem proses per satuan waktu yang singkat, misalnya per jam atau per menit.
Penggunaan dasar perhitungan ini tidak cocok digunakan pada sistem proses yang beroperasi partaian (batch) atau proses yang membutuhkan waktu lama dalam beroperasi, misalnya proses fermentasi. Misalnya Anda mampu membuat tape (peuyeum) 480 kg dalam sekali proses dengan lama proses fermentasi 2 hari. Perhitungan Anda akan lebih akurat jika mengunakan dasar perhitungan 1440 kg per minggu daripada 10 kg per jam, dengan anggapan seminggu 6 hari kerja.
Penggunaan dasar perhitungan juga perlu memperhatikan rentang waktu antar pengiriman bahan baku dan penjualan produk. Apakah bahan baku dikirim dalam jumlah tertentu seminggu sekali, sebulan sekali atau tiga bulan sekali. Pertimbangan ini juga mempengaruhi besar gudang yang dibutuhkan. Sistem Pereaksian dan Sistem Pemisahan & Pemurnian
Pemilihan sistem pemroses yang menjadi unit-unit teknologi proses sangat bergantung pada beban kerja sistem pemroses yang diketahui dari perhitungan neraca massa dan energi. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia adalah sistem proses pereaksian, yang untuk kemudian dinamakan sistem pereaksian, dan sistem proses pemisahan & pemurnian, yang untuk kemudian dinamakan sistem pemisahaan & pemurnian. Walaupun ada pabrik yang sistem proses utamanya hanya terdiri dari sistem pemisahan & pemurnian saja seperti pabrik gula dan pabrik garam, atau hanya sistem pereaksian saja seperti pabrik sabun.
Sistem pereaksian merupakan ciri khas pabrik kimia. Proses perubahan bahan baku menjadi produk terjadi dalam sistem ini. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab sebelum merancang sistem pereaksian adalah bagaimana persamaan reaksi dan stoikiometrinya, pada suhu dan tekanan berapa reaksi akan diselenggarakan, apakah bahan yang akan direaksikan pada fasa padat, cair atau gas, apakah reaksi tersebut memerlukan katalis, apakah fasa katalis yang digunakan padat atau cair, apakah reaksi tersebut menghasilkan panas atau membutuhkan pemanasan dan berapa lama reaksi itu berlangsung.
Sistem pemroses bagi sistem proses pereaksian adalah reaktor. Ada dua model teoritis paling populer yang digunakan dalam merancang reaktor yang beroperasi dalam keadaan tunak, yaitu Continous Stirred Tank Reactor (CSTR) dan Plug Flow Reactor (PFR). Perbedaannya adalah pada dasar asumsi konsentrasi komponen-komponen yang terlibat dalam reaksi. CSTR adalah reaktor model berupa tangki berpengaduk dan diasumsikan pengaduk yang bekerja dalam tanki sangat sempurna sehingga konsentrasi tiap komponen dalam reaktor seragam sebesar konsentrasi aliran yang keluar dari reaktor. Model ini biasanya digunakan pada reaksi homogen di mana semua bahan baku dan katalisnya berfasa cair, atau reaksi antara cair dan gas dengan katalis cair. Untuk reaksi heterogen, misalnya antara bahan baku gas dengan katalis padat menggunakan model PFR. PFR mirip saringan air dari pasir. Katalis diletakkan pada suatu pipa lalu dari sela-sela katalis dilewatkan bahan baku seperti air melewati sela-sela pasir pada saringan. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada perbedaan konsentrasi tiap komponen yang terlibat di sepanjang arah jari-jari pipa.
Sistem pemisahan dan pemurnian bertujuan agar hasil dari sistem pereaksian sesuai dengan permintaan pasar sehingga layak dijual. Sistem pemisahan kadang juga diperlukan untuk menyiapkan bahan baku agar konsentrasi atau keadaannya sesuai dengan katalis yang membantu penyelenggaraan reaksi.
Pemilihan sistem pemisahan dan pemurnian tergantung pada perbedaan sifat fisik dan sifat kimia dari masing-masing komponen yang ingin dipisahkan. Perbedaan sifat fisik yang bisa dimanfaatkan untuk memisahkan komponen-komponen dari satu campuran adalah perbedaan fasa (padat, cair atau gas), perbedaan ukuran partikel, perbedaan muatan listrik statik, perbedaan tekanan uap atau titik didih dan perbedaan titik bekunya. Perbedaan sifat kimia yang bisa dimanfaatkan untuk memisahkan komponen-komponen suatu campuran adalah kelarutan dan tingkat kereaktifan.
Sistem pemroses yang dibangun tergantung pada jenis perbedaan apa yang ingin dimanfaatkan untuk memisahkan komponen tersebut. Sistem pemroses alat penyaring dan ruang pengendapan bisa digunakan untuk menyelenggarakan sistem proses pemisahan padatan dari cairan atau gas, sementara untuk memisahkan dua fasa cair tak larut hanya bisa menggunakan ruang pengendapan. Sistem pemroses alat penyaring juga bisa digunakan untuk memisahkan bahan padat dengan ukuran partikel yang berbeda. Sistem pemroses pemisahan dan pemurnian yang paling lazim di pabrik kimia adalah distilasi dan ekstraksi. Distilasi memanfaatkan perbedaan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen sedangkan ekstraksi memanfaatkan perbedaan derajat kelarutan komponen terhadap satu jenis atau satu campuran pelarut.
Sistem Penukar Panas dan Sistem Utilitas
Kedua sistem proses utama di atas, baik sistem pereaksian maupun sistem proses pemisahan & pemurnian membutuhkan kondisi operasi pada suhu dan tekanan tertentu. Menaikkan atau menurunkan tekanan biasanya dilakukan dengan cara menaikkan suhu pada suatu ruang yang volum dan isinya dijaga tetap. Suatu sistem penukar panas dibutuhkan agar sistem proses utama bisa berlangsung.
Sistem pemroses untuk sistem penukar panas adalah alat pemindah panas ataau dikenal dengan heat exchanger. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang dan memilih heat exchanger adalah suhu dan tekanan saat proses pemindahan panas terjadi, fasa fluida yang memberi dan menerima panas serta apakah terjadi perubahan fasa pada fluida pemanas atau yang dipanaskan, dan sifat fisik masing-masing fluida. Sifat fisik fluida meliputi kapasitas panas (Cp), kalor penguapan, dan besaran kecepatan pindah panas. Hal-hal di atas dipertimbangkan untuk menentukan luas permukaan sentuh antara fluida pemanas dan yang dipanaskan agar proses pemindahan panas sempurna.
Dalam pabrik, panas biasanya ‘disimpan’ dalam fluida yang dijaga pada suhu dan tekanan tertentu. Fluida yang paling umum digunakan adalah air panas dan uap air karena alasan murah dan memiliki kapasitas panas tinggi. Fluida lain biasanya digunakan untuk kondisi pertukaran panas pada suhu di atas 100 C pada tekanan atmosfer. Air atau uap air bertekanan (dinamakan kukus) mendapatkan panas dari tungku pembakaran atau boiler.
Sistem pemindahan panas tidak hanya bertugas memberikan panas tetapi juga menyerap panas. Misalnya, menyerap panas dari sistem proses yang menghasilkan energi misalnya sistem proses yang melibatkan reaksi eksotermik atau menyerap panas agar kondisi sistem di bawah suhu ruang atau suhu sekitar. Untuk penyerap panas agar suhu di bawah suhu ruang biasanya pabrik menggunakan refrigerant, bahan yang sama dengan yang bekerja pada lemari es Anda. Penggunaan air sebagai media pendingin juga dibatasi sifat fisiknya yaitu titik didih dan titik beku. Suhu air pendingin perlu dikembalikan ke suhu sekitar atau suhu ruang agar bisa difungsikan kembali sebagi pendingin. Sistem pemroses yang melakukan ini adalah cooling tower.
Cooling tower, boiler dan tungku pembakaran merupakan sistem-sistem pemroses untuk sistem penyedia panas dan sistem pembuang panas. Kedua sistem proses ini bersama-sama dengan sistem penyedia udara bertekanan, sistem penyedia listrik dan air bersih untuk kebutuhan produksi merupakan sistem penunjang berlangsungnya sistem proses utama yang dinamakan sistem utilitas. Kebutuhan sistem utilitas dan kinerjanya tergantung pada seberapa baik sistem utilitas tersebut mampu ‘melayani’ kebutuhan sistem proses utama dan tergantung pada efisiensi penggunaan bahan baku dan bahan bakar.
Pabrik tidak harus mempunyai sistem pemroses utilitas sendiri. Listrik misalnya, pabrik bisa membelinya dari PLN jika kapasitas PLN setempat mencukupi atau membeli dari pabrik tetangga. Demikian pula untuk unit pengolahan limbah, unit penyedia kukus & air pendingin dan unit penyedia udara bertekanan. Pada suatu kawasan industri, misalnya di Singapura, beberapa unit utilitas untuk seluruh kawasan dikelola oleh negara. Layaknya PLN & PDAM di Indonesia, Singapura memiliki perusahaan pengolahan limbah, perusahaan penyedia gas bahan bakar & udara bertekanan. Pada beberapa kawasan yang masih belum terjangkau jaringan perusahaan tersebut, ada perusahaan swasta yang ditunjuk pemerintah untuk menjual kebutuhan utilitas. Ini menjadi salah satu keunggulan yang lebih memikat para investor untuk menanamkan modalnya di Singapura.
Jika suatu pabrik ingin menyediakan sistem utilitasnya sendiri, sistem pemroses untuk sistem utilitas mudah didapat di pasar. Banyak perusahaan yang menjual boiler atau tungku pembakaran dalam berbagai kapasitas panas. Sama seperti generator listrik dan alat penjernihan air. Anda tinggal menentukan berapa banyak panas yang dibutuhkan pabrik per jam atau per harinya, sama seperti menentukan berapa kWh listrik yang Anda butuhkan. Pihak penjual akan merekomendasikan boiler atau generator listrik yang sesuai kebutuhan Anda bahkan memasangkannya pada pabrik Anda.
Memang merancang sistem pemroses untuk utilitas tidak serumit merancang sistem proses dan sistem pemroses utama. Kedua sistem ini membutuhkan pengetahuan kimia dan teknik kimia yang mendalam terhadap teknologi proses yang akan dibangun. Jika Anda membeli lisensi teknologi proses, Anda bisa mempercayakan perancangan dan pembangunan pabrik pada pihak penjual lisensi, tentunya dengan harga beli yang lebih tinggi. Anda bisa menggunakan jasa perusahaan konsultan dalam merancang dan membangun sistem proses dan sistem pemroses utama jika ingin merancang teknologi proses sendiri. Perusahaan yang bergerak di jasa perancangan pabrik kimia yang ada di Indonesia diantaranya adalah PT Rekayasa Industri (ReKin) dan PT Inti Karya Persada Teknik (IKPT).
Setelah proses perancangan dan pembangunan pabrik selesai, pabrik tersebut harus dioperasikan dalam keadaan yang terkendali dan menghasilkan produk dengan mutu yang terkendali pula. Untuk itu, pabrik perlu dilengkapi dengan sistem pengendalian dan sistem management sumber daya manusia yang terlibat, yang akan mengatur dan mengendalikan proses produksi. Gambaran secara umum tentang sistem pengendalian dan sistem management suatu pabrik akan dimuat pada tulisan selanjutnya, bersama dengan gambaran umum mengenai kajian kelayakan ekonomi suatu pabrik.

Further reading:
* Turton, Bailie, Whiting & Shaelwitz “Analysis Synthesis and Design of Chemical Processes”
* Smith “Chemical Process Design”
* Bowman “Applied Economic Analysis for Technologists, Engineers and Managers”
* Martyn.S.Ray & Martin.G.Sneesby “Chemical Engineering Design Project”
* Tarek.M. Khalil “Management of Technology”
* Dutta & Manzoni “Process Reengineering, Change & Performance Improvement”
* Kunto Mangkusubroto & Listiarini Trisnadi “Analisa Keputusan”
* Soesilo & Wilson “Site Remediation, planning & management”
* Himmelblau “Basic Principles and Calculation in Chemical Engineering” 5th edition. Prentice Hall
* Treybal “Mass Transfer Operation” 3rd edition Mc Graw Hill
* Klaus Sattler & H.J.Feindt “Thermal Separation Process” Willey International Edition
* Humprey & Keller “Separation Process Technology” Mc Graw Hill
* Froust, Menzel, Clump, Andersen “Principles of Unit Operation” Jhon Willey & sons
* Cheremisinoff “Handbook of Chemical Process Equipment” Butterworth * Heinennman
* Perry Green “Perry’s Chemical Engineering Handbook” 5th edition. Mc Graw Hill
* Branan “Rules of Thumb for Chemical Engineers”
* Austin Shreve “Shreve’s Chemical Process Industries” 5th edition. Mc Graw Hill
* Mc Ketta “Unit Operations Handbook; Vol 1 & 2” Dekker

Process Engineer : Job Description

Job Description of A Process Engineer A Process Engineer develops and optimize economical industrial processes to make the huge range of products on which modern society depends. A Process Engineer may work in small, medium and large businesses. The work is concerned with chemical and biochemical processes in which raw materials undergo change, and involves scaling up processes from the laboratory into the processing plant. Responsibilities involve designing equipment, understanding the reactions taking place, installing control systems, and starting, running and upgrading the processes. Environmental protection and health and safety aspects are also significant concerns.
Work is project-orientated and you may be working on a number of projects, all at various different stages, at any given time. Several process engineering companies act as consultancies.
Typical work activities include:
  • assessing processes for their relevance, and assessing the adequacy of engineering equipment;
  • reviewing existing data (also lab analysis) to see if more research and information need to be collated;
  • designing, installing and commissioning new production units, monitoring modifications and upgrades, and troubleshooting existing processes;
  • applying the principles of mass, momentum and heat transfer to process and equipment design, including conceptual, scheme and detail design;
  • conducting process development experiments to scale in a laboratory;
  • preparing reports, flow diagrams and charts;
  • assessing the availability of raw materials and the safety and environmental impact of the plant;
  • managing the cost and time constraints of projects;
  • selecting, managing and working with sub-contractors;
  • supporting the conversion of small-scale processes into commercially viable large-scale operations;
  • assuming responsibility for risk assessment, including hazard and operability (HAZOP) studies, for the health and safety of both company staff and the wider community;
  • working closely with chemical engineers to monitor and improve the efficiency, output and safety of a plant;
  • ensuring the process works at the optimum level, to the right rate and quality of output, in order to meet supply needs;
  • making observations and taking measurements directly, as well as collecting and interpreting data from the other technical and operating staff involved;
  • assuming responsibility for environmental monitoring and ongoing performance of processes and process plant;
  • ensuring that all aspects of an operation or process meet specified regulations;
  • working closely with other specialists, including: scientists responsible for the quality control of raw materials, intermediates and finished products; engineers responsible for plant maintenance; commercial colleagues on product specifications and production schedules; and the operating crew.

About Chemical Eng

Chemical engineering is the branch of engineering that deals with the application of physical science (e.g. chemistry and physics), with mathematics, to the process of converting raw materials or chemicals into more useful or valuable forms. As well as producing useful materials, chemical engineering is also concerned with pioneering valuable new materials and techniques; an important form of research and development. A person employed in this field is called a chemical engineer.
Chemical engineering largely involves the design and maintenance of chemical processes for large-scale manufacture. Chemical engineers in this branch are usually employed under the title of process engineer. The development of the large-scale processes characteristic of industrialized economies is a feat of chemical engineering, not chemistry. Indeed, chemical engineers are responsible for the availability of the modern high-quality materials that are essential for running an industrial economy.

Contents

[hide]

Chemical Engineering Timeline

In 1824, French physicist Sadi Carnot, in his “On the Motive Power of Fire”, was the first to study the thermodynamics of combustion reactions in steam engines. In the 1850s, German physicist Rudolf Clausius began to apply the principles developed by Carnot to chemicals systems at the atomic to molecular scale.[1] During the years 1873 to 1876 at Yale University, American mathematical physicist Josiah Willard Gibbs, the first to be awarded a Ph.D. in engineering in the U.S., in a series of three papers, developed a mathematical-based, graphical methodology, for the study of chemical systems using the thermodynamics of Clausius. In 1882, German physicist Hermann von Helmholtz, published a founding thermodynamics paper, similar to Gibbs, but with more of an electro-chemical basis, in which he showed that measure of chemical affinity, i.e. the “force” of chemical reactions, is determined by the measure of the free energy of the reaction process. Following these early developments, the new science of chemical engineering began to develop. The following timeline shows some of the key steps in the development of the science of chemical engineering:[2]

Applications

Chemical engineering is applied in the manufacture of wide variety of products. The chemical industry proper manufactures inorganic and organic industrial chemicals, ceramics, fuels and petrochemicals, agrochemicals (fertilizers, insecticides, herbicides), plastics and elastomers, oleochemicals, explosives, fragrances and flavors, additives, dietary supplements and pharmaceuticals. Closely allied or overlapping disciplines include wood processing, food processing, environmental technology, and the engineering of petroleum, glass, paints and other coatings, inks, sealants and adhesives.

Example

To show the difference between laboratory chemistry and industrial chemical engineering, consider a simple one-step reaction between two reagents R1 and R2 to give a product P and waste W. The reaction may be represented R1 + R2 = P + W. A solvent S and possibly a catalyst
C may be required, and it may need to be heated to speed the reaction.
A specific example would be the synthesis of aspirin by the reaction of salicylic acid (R1) with acetic anhydride (R2) in solvent water (S) and in the presence of catalyst phosphoric acid (C). Aspirin is the product P, and acetic acid (W) is also formed.
In the laboratory 5 grams of R1 (a solid) are added to 120 ml of water in a flask. 5 ml of R2 (a liquid) are added plus 0.5 ml of phosphoric acid solution, and the flask is heated in a water bath. The contents are agitated by swirling the flask or with a laboratory stirrer and heated under reflux for about an hour.
The material is allowed to cool down and crystals of aspirin are formed, which may be filtered off, and perhaps recrystallized. A good yield would be 5 to 6 grams. The remaining solution is poured down the sink.
Now consider an industrial process in which we replace grams with tonnes.
Firstly suitable storage (say for two weeks of production) must be provided for the raw materials. In this case R1 is a solid and would be put in a storage silo; R2 is a corrosive liquid, combustible and sensitive to water, so would need a closed tank of resistant material. A means of transport to the reactor must be provided, such as a screw conveyor for the solid R1 and a pump
and pipes for liquid R2. Chemical engineers would calculate the sizes and power requirements and specify suitable materials. Similar arrangements must be made for the solvent S and the catalyst C. In this case, water is the solvent, but ordinary tap water would not be good enough, so there will be a separate process to clean the water.
The reactor is now to contain 120 tonnes of water and the other ingredients, so cannot be swirled. An agitator must be designed and its power consumption calculated to give the necessary mixing. Heating and cooling are considered free in the laboratory, but not in industry. The chemical engineers must first calculate the amount of heat to be added and removed, then design suitable methods to do this, perhaps by passing steam through an outer jacket of the vessel to heat. They will probably decide to pump the reacted mixture to another vessel with a cooler, then to a filter. The solid will then go to further equipment to dissolve, crystallize and filter again, giving perhaps 5.5 tonnes of aspirin, which will be dried and placed in suitable storage, which must also be designed. (The drying process uses significant amounts of energy.)
However, there is about 125 tonnes of waste which cannot be just poured down the drain. It will contain some unreacted R1 and about 3 tonnes of W, which must be recovered and recycled. (In this case, W can be converted to R2 in another reactor.) The catalyst may be recovered, or made harmless by a chemical reaction before disposal. Thus there will be another set of equipment to save the cost of wasting chemicals and to protect the environment. Solvents other than water are generally recycled by distillation, but water is also re-used and recycled as far as economically feasible.
What has been described is a batch process. It will probably be modified to operate continuously, particularly if large amounts of the product are required. Efforts will be made to reduce the amount of energy used and to minimize waste.

Overview

Chemical engineers are aiming for the most economical process. This means that the entire production chain must be planned and controlled for costs. A chemical engineer can both simplify and complicate "showcase" reactions for an economic advantage. Using a higher pressure or temperature makes several reactions easier; ammonia, for example, is simply produced from its component elements in a high-pressure reactor. On the other hand, reactions with a low yield can be recycled continuously, which would be complex, arduous work if done by hand in the laboratory. It is not unusual to build 6-step, or even 12-step evaporators to reuse the vaporization energy for an economic advantage. In contrast, laboratory chemists evaporate samples in a single step.
The individual processes used by chemical engineers (eg. distillation or filtration) are called unit operations and consist of chemical reaction, mass-, heat- and momentum- transfer operations. Unit operations are grouped together in various configurations for the purpose of chemical synthesis and/or chemical separation. Some processes are a combination of intertwined transport and separation unit operations, (e.g. reactive distillation).
Three primary physical laws underlying chemical engineering design are conservation of mass, conservation of momentum and conservation of energy. The movement of mass and energy around a chemical process are evaluated using mass balances and energy balances which apply these laws to whole plants, unit operations or discrete parts of equipment. In doing so, chemical engineers use principles of thermodynamics, reaction kinetics and transport phenomena. The task of performing these balances is now aided by process simulators, which are complex software models (see List of Chemical Process Simulators) that can solve mass and energy balances and usually have built-in modules to simulate a variety of common unit operations.

Modern chemical engineering

The modern discipline of chemical engineering encompasses much more than just process engineering. Chemical engineers are now engaged in the development and production of a diverse range of products, as well as in commodity and specialty chemicals. These products include high performance materials needed for aerospace, automotive, biomedical, electronic, environmental and space and military applications. Examples include ultra-strong fibers, fabrics, adhesives and composites for vehicles, bio-compatible materials for implants and prosthetics, gels for medical applications, pharmaceuticals, and films with special dielectric, optical or spectroscopic properties for opto-electronic devices. Additionally, chemical engineering is often intertwined with biology and biomedical engineering. Many chemical engineers work on biological projects such as understanding biopolymers (proteins) and mapping the human genome.

Related fields and topics

Today, the field of chemical engineering is a diverse one, covering areas from biotechnology and nanotechnology to mineral processing.

Introduction to Process Control



Proses adalah sebuah kegiatan berkesinambungan yang mengubah suatu material. Istilah proses di industrial mencakup input (raw material/feed/bahan baku) dan output (product). Kontrol untuk menjaga kondisi (operasi kilang) sesuai yang diinginkan dalam sistem dengan mengatur variabel yang dipilih di sistem tersebut.
Proses Kontrol : menjaga kondisi yang diinginkan dalam sistem dengan mengatur variabel yang dipilih dalam sistem untuk mengurangi gangguan (disturbances) yang mempengaruhi sistem.
Contoh pengendalian proses kontrol dalam kehidupan sehari-hari :
Mengemudikan mobil di jalan raya :
Þ Control objective (setpoint) ???
Þ Control variabel ???
Þ Manipulated variabel ???
Þ Actuator ???
Þ Sensor ???
Þ Controller ???
Þ Disturbance ???
Þ Noise ???
Contoh pengendalian proses kontrol di kilang:
Heat Exchanger :
ÞControl objective (setpoint) ???
Þ Control variabel ???
Þ Manipulated variabel ???
Þ Actuator ???
Þ Sensor ???
Þ Controller ???
Þ Disturbance ???
Þ Noise ???
Sebelum membahas satu persatu aksi kontrol tersebut, ada baiknya terlebih dahulu kita membahas secara garis besar beberapa jenis variabel yang selalu digunakan dalam suatu loop kontrol.
Beberapa jenis variabel yang selalu digunakan dalam suatu loop kontrol, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Controlled variable
:
yaitu variabel proses yang akan dikontrol, seperti temperature, pressure, flow, level, qualitas produk, dsbnya. Idealnya “controlled variable” ini harus diukur untuk kemudian dibandingkan dengan “set point”-nya. Akan tetapi apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran langsung, maka nilai variable ini bisa diperoleh melalui suatu perhitungan (inferensial).
-
Manipulated variable
:
variabel yang akan dimanipulasi oleh final control element dalam rangka melakukan aksi koreksi (atau mempertahankan) harga “controlled variable” yang ada. Sebagai contoh flow fuel dalam sebuah boiler atau heater.
-
Load variabel
:
variabel yang merupakan beban dari suatu loop kontrol, sebagai contoh flow/pressure steam dalam suatu boiler (steam drum level control), atau temperature outlet dalam suatu heater.
-
Disturbanced variable
:
merupakan variabel gangguan bisa terhadap load maupun terhadap manipulated variable. Pada struktur kontrol tertentu nilai variabel ini harus diketahui baik melalui pengukuran langsung maupun tak langsung melalui hasil perhitungan. Struktur kontrol yang membutuhkan harga variabel ini adalah “cascade control” atau “feedforward control”. Contoh untuk variabel ini adalah pressure fuel gas dalam suatu heater atau boiler, dalam hal ini gangguan terhadap “manipulated variabel”. Sedangkan contoh gangguan terhadap load adalah perubahan pressure/flow steam pada sebuah boiler.
-
Measured variable
:
yaitu variabel proses yang diukur dalam rangka mengetahui nilai “controlled variable” atau “disturbanced variable”, jadi “measurement variable” ini bisa merupakan kedua variabel tersebut ataupun variabel lainnya yang akan digunakan untuk menghitung harga/nilai darai kedua variabel tersebut. Sebagai contoh pengukuran temperature outlet dalam suatu heater, atau pengukuran temperature (inlet dan outlet heat exchanger) dan flow dalam suatu sistem kontrol duty.
-
Set point
:
Harga yang diinginkan dari suatu “controlled variable”.
-
Error
:
Perbedaan antara harga aktual “control variable” terhadap “set point”-nya.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan element-elemen loop proses kontrol :
Þ Sensor , pembaca variabel proses
Þ Transmitter , mengubah bacaan variabel proses ke sinyal standar
Þ Controller , menggerakkan actuator dengan memberikan sinyal output kontroller yang sesuai
Þ Actuator , mengatur manipulated variabel berdasar dari nilai output sinyal kontroller
Þ Proses, sistem yang dikontrol
Nilai/harga parameter kontrol menentukan keberhasilan dari suatu sistem kontrol yang dirancang. Penentuan nilai parameter ini dilakukan dengan coba-coba atau dengan manggunakan metoda yang sudah banyak dikembangkan oleh para ahli kontrol. Contoh parameter kontrol adalah proposal gain, reset time dan rate time dalam suatu kontrol PID.
Untuk proses yang tidak bergantung waktu (time invariant process) maka harga parameter proses dianggap tetap. Teknik kontrol yang banyak dikembangkan kebanyakan untuk proses jenis ini. Untuk perubahan parameter proses yang kecil dan lamban maka metoda seperti adaptive control atau robust control bisa digunakan. Akan tetapi apabila perubahan tersebut berlangsung secara cepat dan dengan nilai yang cukup besar (time variant process) maka metoda-metoda tersebut tidak mampu lagi untuk digunakan.
 
Copyright © Chemical Engineer. Design by Best Website Design
Buy Traffic and Templates On Sales