Pages


Tipe destilasi

Karena karakter campuran yang berbeda maka distilasi dilakukan dengan cara berbeda pula. Oleh karena itu distilasi meliputi beberapa tipe yaitu: distilasi azeotropik, distilasi kering, distilasi ekstraktif, distilasi beku (freeze distillation), distilasi fraksinasi, distilasi ua (steam distillation) dan distilasi vakum.
Berdasarkan prosesnya, distilasi juga dapat dibedakan menjadi distilasi batch (batch distillation) dan distilasi kontinyu (continuous distillation).Disebut distilasi batch jika dilakukan satu kali proses, yakni bahan dimasukkan dalam peralatan, diproses kemudian diambil hasilnya (distilat dan residu). Disebut distilasi kontinyu jika prosesnya berlangsung terusmenerus.Ada aliran bahan masuk sekaligus aliran bahan keluar.Rangkaian alat distilasi yang banyak digunakan di industri adalah jenis tray tower dan packed tower.
gb468
gb469
gb471

Perawatan peralatan distilasi

Kolom distilasi harus dirawat agar kebersihan dan penggunaannya dapat seoptimal mungkin, dilakukan sebagai berikut :
  1. Pengaruh panas kolom pada unit kolom distilasi terbatas pada kondensor dan pendidih ulang (reboiler), karena, pada umumnya, kolom tersebut diisolasi, sehingga kehilangan kalor sepanjang kolom relatif kecil
  2. Untuk umpan yang berupa zat cair pada titik gelembungnya (q = 1) yaitu cairan jenuh, kalor yang diberikan pada pendidih ulang sama dengan yang dikeluarkan pada kondensor. Untuk umpan yang berwujud selain cairan jenuh kebutuhan kukus, pemanas dihitung dengan neraca panas (neraca entalpi).
Adsorpsi atau penjerapan adalah proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, bahan yang akan dipisahkan ditarik oleh permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Biasanya partikel-partikel kecil zat penyerap ditempatkan ke suatu hamparan tetap dan fluida kemudian dialirkan melalui hamparan tetap tersebut sampai zat padat itu mendekati jenuh dan pemisahan yang dikehendaki tidak dapat berlangsung lagi. Kebanyakan zat pengadsorpsi adalah adsorben. Bahan-bahan yang berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori.
Pemisahan terjadi karena perbedaan bibit molekul atau karena perbedaan polaritas menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan itu lebih erat daripada molekul-molekul lainnya. Misalnya, limbah industri pencucian kain batik diadsorpsi zat warnanya dengan menggunakan arang tempurung kelapa yang sudah diaktifkan. Limbah elektroplating yang mengandung nikel, logam berat nikel diadsorpsi dengan zeolit yang diaktifkan.

Pengoperasian peralatan kolom adsorpsi

Kolom adsorpsi dilengkapi dengan peralatan :
  1. Bak penampung umpan sekaligus berfungsi sebagai bak penampung overflow, bak pengatur debit, bak penampung efluen, pompa air, flowmeter
  2. Sebelum alat dioperasikan terlebih dahulu kolom diisi dengan aquades sampai sedikit di atas lapisan adsorben. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari udara yang terjebak di dalam kolom yang dapat mengganggu laju aliran.
  3. Alat dioperasikan dengan mengalirkan sampel air baku secara grafitasi (downflow) secara terus menerus dari bak penampung umpan dengan menggunakan pompa menuju ke bak pengatur laju limpasan. Bak pengatur laju limpasan digunakan untuk mendapatkan tekanan dan laju limpasan yang konstan.
  4. Setelah dari bak pengatur laju limpasan aliran umpan dilewatkan flowmeter untuk mendapatkan hasil pembacaan laju limpasan secar visual.Flowmeter ini dilengkapi dengan 3 buah kran pengatur. Sesuai dengan Gambar kran a digunakan untuk mengatur besar kecilnya laju limpasan, kran b berfungsi sebagai pintu masuk aliran umpan menuju ke kolom adsorpsi. Kran b akan ditutup pada saat kalibrasi flowmeter dengan kondisi kran c terbuka. Setelah laju limpasan aliran stabil, kran c ditutup ddan kran b dibuka. Kemudian umpan akan mengalir menuju ke kolom adsorpsi.
  5. Setelah operasional alat dengan waktu dan laju limpasan tertentu dilakukan pengambilan sampel air baku pada masing-masing outlet yang selanjutnya dilaksanakan analisis
  6. Diulangi untuk kondisi operasi yang berbeda dengan variasi laju limpasan, variasi konsentrasi influen, dan variasi ukuran media.
gbpompaair

Alat Penukar Panas

Jenis umum dari penukar panas, biasanya digunakan dalam kondisi tekanan relatif tinggi, yang terdiri dari sebuah selongsong yang didalamnya disusun suatu anulus dengan rangkaian tertentu (untuk mendapatkan luas permukaan yang optimal). Fluida mengalir di selongsong maupun di anulus sehingga terjadi perpindahan panas antar fluida dengan dinding anulus sebagai perantara. Beberapa jenis rangkaian anulus misalnya; triangular, segiempat, dll.
gb485

Jenis Plat

Contoh lainnya adalah penukar panas jenis plat. Alat jenis ini terdiri dari beberapa plat yang disusun dengan rangkaian tertentu, dan fluida yang mengalir diantaranya.

Pengertian Perpindahan Panas

Alat penukar kalor merupakan suatu alat yang menghasilkan perpindahan panas dari suatu fluida yang temperaturnya lebih tinggi ke fluida yang temperaturnya lebih rendah. Proses perpindahan panas tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Maksudnya ialah :
a.Alat penukar kalor kontak langsung Pada alat ini fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida dingin (tanpa adanya pemisah) dalam suatu bejana atau ruangan. Misalnya ejector, daerator dan lain-lain.
b.Alat penukar kalor kontak tak langsung Pada alat ini fluida panas tidak berhubungan langsung (indirect contact) dengan fluida dingin. Jadi proses perpindahan panasnya itu mempunyai media perantara, seperti pipa, plat, atau peralatan jenis lainnya. Misalnya kondensor, ekonomiser air preheater dan lain-lain.

Cara-cara Perpindahan Panas

Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari satu tempat ke tempatnya sebagai akibat dari perbedaan temperatur antara tempat-tempat tersebut. Pada umumnya perpindahan panas dapat berlangsung melalui 3 cara yaitu secara konduksi, konveksi, radiasi. Untuk alat penukar kalor tipe spiral ini lebih ditekankan pada perpindahan panas secara konveksi sehingga pembahasannya tidak menjelaskan tentang perpindahan panas secara konduksi dan radiasi.
Konveksi adalah proses transport energy dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energy dan gerakan mencampur fluida. Perpindahan panas konveksi menurut cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan dalam konveksi bebas dan konveksi paksa. Dikatakan sebagai konveksi bebas (free/ natural convection) apabila gerakan
mencampur diakibatkan oleh perbedaan kerapatan massa jenis yang disebabkan oleh gradien suhu, contohnya gerakan yang terlihat pada air yang sedang dipanaskan. Sedangkan apabila gerakan fluida disebabkan kerena adanya energi dari luar seperti pokpa atau kipas maka disebut sebagai konveksi paksa (forced convection), misalnya pendinginan radiator dengan udara yang dihembuskan oleh kipas.
gbtulisan
Keefektifan perpindahan panas dengan cara konveksi tergantung sebagian besarnya gerakan mencampur fluida. Sehingga studi perpindahan konveksi didasarkan pada pengetahuan tentang ciri-ciri aliran fluida.

Perawatan Boiler dan Pemanas Fluida Termis

Tugas dan pemeriksaan berkala pada bagian luar boiler. Seluruh pintu akses dan bidang kerja harus dirawat kedap udara dengan 362 menggunakan paking yang efektif. Sistem cerobong asap harus memiliki sambungan yang tertutup secara efektif dan bila perlu diisolasi.
Shell boiler dan bagiannya harus terisolasi dengan baik dan harus dipastikan bahwa isolasinya sudah cukup. Jika isolasi yang digunakan pada boiler, pipa dan silinder air panas dipasang beberapa tahun yang lalu, hampir dipastikan isolasinya sudah tipis walaupun tampaknya dalam kondisi baik. Perlu diingat bahwa isolasi tersebut terpasang ketika biaya bahan bakar sangat rendah. Penambahan ketebalan akan lebih baik.
Di akhir waktu pemanasan/pemakaian, selama musim panas, boiler harus di tutup sepenuhnya dan permukaan dalam ditutup sepenuhnya dengan plat dengan sisipan dessicant. (Hanya diterapkan untuk boiler yang tidak dioperasikan diantara waktu pemanasan/ pemakaian).

Meningkatkan steam dan air panas boiler

Kotoran dalam air boiler yang terkumpul dalam boiler, memiliki batasan konsentrasinya yang bergantung pada jenis dan beban boiler. Blow down boiler harus diminimalkan, tetapi ketentuan densitas air harus dijaga. Panas dari air blow down sebaiknya dimanfaatkan.
Dalam steam boiler, apakah pengolahan air cukup untuk mencegah pembentukan foaming (pembentukan busa/buih) atau priming dan konsekuensinya membawa kelebihan air dan bahan kimia kedalam sistem steam? Untuk steam boiler, apakah pengendalian otomatis permukaan air bekerja? Adanya pipa interkoneksi dapat menjadi sangat berbahaya. Apakah pengecekkan telah dilakukan secara berkala terhadap kebocoran udara di sekitar boiler, pintu atau antara boiler dan cerobong asap? Yang disebutkan pertama akan mengurangi efisiensi, yang disebutkan kemudian dapat menurunkan kualitas kekeringan steam dan mendorong terjadinya kondensasi, korosi, dan Smutting.
diperlukan perbandingan bahan bakar/udara disetel. Detektor dan alat kontrol yang ada sebaiknya diberi label dan diperiksa secara berkala. Tampilan kunci pengaman harus memiliki penyetel manual dan alarm. Harus dilakukan pengujian, atau pemasangan indikator permanen pada burner untuk memantau kondisi kondisi tekanan/suhu operasi.
Dalam boiler yang berbahan bakar minyak atau gas, kabel-kabel sistim fussible link untuk mematikan/shutdown jika ada kebakaran atau pemanasan berlebih yang melintasi jalan yang dilewati karyawan, harus ditempatkan pada posisi di atas kepala. Fasilitas emergency shutdown diletakkan pada pintu keluar ruang boiler.
gb5-10

Sistem Utilitas Udara Tekan

Plant industri menggunakan udara tekan untuk seluruh operasi produksinya, yang dihasilkan oleh unit udara tekan yang berkisar dari 5 horsepower (hp) sampai lebih 50.000 hp. DepartemenEnergi 364 Amerika Serikat (2003) melaporkan bahwa 70 sampai 90 persen udara tekan hilang dalam bentuk panas yang tidak dapat digunakan,gesekan, salah penggunaan dan kebisingan. Sehingga, kompresor dan sistim udara tekan menjadi area penting untuk meningkatkan efisiensi energi pada plant industri.
Merupakan catatan yang berharga bahwa biaya untuk menjalankan sistim udara tekan jauh lebih tinggi daripada harga kompresor itu sendiri (lihat Gambar 5-11).Penghematan energi dari perbaikan sistim dapat berkisar dari 20 sampai 50 persen atau lebih dari pemakaian listrik, menghasilkan ribuan bahkan ratusan ribu dolar. Sistim udara tekan yang dikelola dengan benar dapat menghemat energi, mengurangi perawatan, menurunkan waktu penghentian operasi, meningkatkan produksi, dan meningkatkan kualitas.
Sistim udara tekan terdiri dari bagian pemasokan, yang terdiri dari kompesor dan perlakuan udara, dan bagian permintaan, yang terdiri dari sistim distribusi & penyimpanan dan peralatan pemakai akhir. Bagian pemasokan yang dikelola dengan benar akan menghasilkan udara bersih, kering, stabil yang dikirimkan pada tekanan yang dibutuhkan dengan biaya yang efektif.
Bagian permintaan yang dikelola dengan benar akan meminimalkan udara 365 terbuang dan penggunaan udara tekan untuk penerapan yang tepat.Perbaikan dan pencapaian puncak kinerja sistim udara tekan memerlukan bagian sistim pemasokan dan permintaan dan interaksi diantara keduanya.

Komponen Utama Sistim Udara Tekan

Sistim udara tekan terdiri dari komponen utama berikut: Penyaring udara masuk, pendingin antar tahap, after-coolers,pengering udara, traps pengeluaran kadar air, penerima, jaringan pemipaan, penyaring, pengatur dan pelumasan (lihat Gambar 5-12).
  1. Filter Udara Masuk: Mencegah debu masuk kompresor; Debu menyebabkan lengketnya katup/ kran, merusak silinder dan pemakaian yang berlebihan.
  2. Pendingin antar tahap: Menurunan suhu udara sebelum masuk ke tahap berikutnya untuk mengurangi kerja kompresi dan meningkatkan efisiensi. Biasanya digunakan pendingin air.
  3. After-Coolers: Tujuannya adalah membuang kadar air dalam udara dengan penurunan suhu dalam penukar panas berpendingin air.
  4. Pengering Udara: Sisa-sisa kadar air setelah after-cooler dihilangkan dengan menggunakan pengering udara, karena udara tekan untuk keperluan instrumen dan peralatan pneumatik harus bebas dari kadar air. Kadar air dihilangkan dengan menggunakan adsorben seperti gel silika/karbon aktif, atau pengering refrigeran, atau panas dari pengering kompresor itu sendiri.
  5. Traps Pengeluaran Kadar Air: Trap pengeluaran kadar air diguakan untuk membuang kadar air dalam udara tekan. Trap tersebut menyerupai steam traps. Berbagai jenis trap yang digunakan adalah kran pengeluaran manual, klep pengeluaran otomatis atau yang berdasarkan waktu dan lainnya.
  6. Penerima: Penerima udara disediakan sebagai penyimpan dan penghalus denyut keluaran udara – mengurangi variasi tekanan dari kompresor
gb5-12

Jenis Kompresor

Pada jenis positive-displacement,sejumlah udara atau gas di- trap dalam ruang kompresi dan volumnya secara mekanik menurun, menyebabkan peningkatan tekanan tertentu kemudian dialirkan keluar. Pada kecepatan konstan, aliran udara tetap konstan dengan variasi pada tekanan pengeluaran.
Kompresor dinamik memberikan enegi kecepatan untuk aliran udara atau gas yang kontinyu menggunakan impeller yang berputar pada kecepatan yang sangat tinggi. Energi kecepatan berubah menjadi energi tekanan karena pengaruh impeller dan volute pengeluaran atau diffusers. Pada kompresor jenis dinamik sentrifugal, bentuk dari sudu-sudu impeller menentukan hubungan antara aliran udara dan tekanan (atau head) yang dibangkitkan.

Kompresor reciprocating

Di dalam industri, kompresor reciprocating paling banyak digunakan untuk mengkompresi baik udara maupun refrigerant.Prinsip kerjanya seperti pompa sepeda dengan karakteristik dimana aliran keluar tetap hampir konstan pada kisaran tekanan pengeluaran tertentu. Juga, kapasitas kompresor proporsional langsung terhadap kecepatan. Keluarannya,seperti denyutan.
Kompresor reciprocating tersedia dalam berbagai konfigurasi; terdapat empat jenis yang paling banyak digunakan yaitu horizontal, vertical, horizontal balanceopposed,dan tandem. Jenis kompresor reciprocating vertical digunakan untuk kapasitas antara 50 – 150 cfm. Kompresor horisontal balance opposed digunakan pada kapasitas antara 200 – 5000 cfm untuk desain multitahap dan sampai 10,000 cfm untuk desain satu tahap (Dewan Produktivitas Nasional,1993).
Kompresor udara reciprocating biasanya merupakan aksi tunggal dimana penekanan dilakukan hanya menggunakan satu sisi dari piston. Kompresor yang bekerja menggunakan dua sisi piston disebut sebagai aksi ganda.Sebuah kompresor dianggap sebagai kompresor satu tahap
jika keseluruhan penekanan dilakukan menggunakan satu silinder atau beberapa silinder yang parallel.
Beberapa penerapan dilakukan pada kondisi kompresi satu tahap. Rasio
kompresi yang terlalu besar (tekanan keluar absolut/tekanan masuk absolut) dapat menyebabkan suhu pengeluaran yang berlebihan ataumasalah desain lainnya. Mesin dua tahap yang digunakan untuk tekanan tinggi biasanya mempunyai suhu pengeluaran yang lebih rendah (140 to 160oC), sedangkan pada mesin satu tahap suhu lebih tinggi (205 to 240oC).
gb5-14

Kompresor Dinamis

Kompresor udara sentrifugal (lihat Gambar 5-16)merupakan kompresor dinamis, yang tergantung pada transfer energi dari impeller berputar ke udara. Rotor melakukan pekerjaan ini dengan mengubah momen dan tekanan udara. Momen ini dirubah menjadi tekanan tertentu dengan penurunan udara secara perlahan dalam difuser statis.
Kompresor udara sentrifugal adalah kompresor yang dirancang bebas minyak pelumas. Gir yang dilumasi minyak pelumas terletak terpisah dari udara dengan pemisah yang menggunakan sil pada poros dan ventilasi atmosferis. Sentrifugal merupakan kompresor yang bekerja kontinyu, dengan sedikit bagian yang bergerak; lebih sesuai digunakan pada volum yang besar dimana dibutuhkan bebas minyak pada
udaranya.
Kompresor udara sentrifugal menggunakan pendingin air dan dapat berbentuk paket; khususnya paket yang termasuk aftercooler dan semua control. Kompresor ini dikenal berbeda karakteristiknya jika dibandingkan dengan mesin reciprocating.Perubahan kecil pada rasio kompresi menghasilkan perubahan besar pada hasil kompresi dan efisiensinya. Mesin sentrifugal lebih sesuai diterapkan untuk kapasitas besar diatas 12,000 cfm.
gb5-16

Masalah Lingkungan Yang Berkaitan Dengan Penggunaan Plastik

Tidak seperti bahan-bahan alam lainnya, plastik bersifat non-biodegradable. Berdasarkan informasi, 30% volume sampah di Amerika Serikat terdiri dari plastik. Bagaimana di negara kita, Indonesia? Umumnya sampah plastik ditangani dengan cara dikubur atau dibakar dalam incinerator. Namun, kedua cara tersebut belum menyelesaikan masalah. Plastik yang dikubur tidak akan membusuk sementara lahan tempat mengubur plastik semakin sulit. Pembakaran plastik akan menyebabkan polusi. Misalnya, pembakaran PVC menghasilkan gas hidrogen klorida (HCl) atau gas klorin (Cl2). Berikut beberapa cara yang dipertimbangkan untuk menangani plastik.
a. Daur ulang
Plastik termoplas dapat dibentuk ulang melalui pemanasan. Dapat juga didepolimerisasi sehingga diperoleh kembali monomernya. Akan tetapi, sulit sekali memilah sampah plastik menurut jenisnya. Sampah plastik seringkali merupakan campuran dari berbagai jenis. Dengan demikian juga mengandung plasticiser, pigmen warna, dan campuran bahan lainnya. Akibatnya, hasil daur ulangnya paling merupakan plastik dengan mutu yang lebih rendah dan kurang nilai ekonomisnya.
Di negara maju yang penduduknya sadar lingkungan, produsen mencantumkan kode yang menyatakan jenis plastik. Lalu di tempat­tempat umum disediakan tempat sampah dengan berbagai kode, sehingga masyarakat dapat membuang sampah plastik menurut jenisnya. Dapatkah Anda mengelompokkan bahan-bahan plastik yang telah Anda pakai berdasarkan jenis plastik?
b. Membuat plastik yang biodegradable
Dengan membuat plastik yang biodegradable, maka plastik akan hancur dalam beberapa tahun.
c. Pirolisis
Apabila plastik dipanaskan hingga 7000C tanpa udara, maka molekul plastik akan terurai membentuk molekul-molekul sederhana. Campuran plastik yang biasa, seperti politena, polipropilena atau polistirena, ketika dipirolisis akan menghasilkan hidrokarbon sederhana serti etena atau propena atau benzena. Senyawa tersebut dapat dipisahkan melalui destilasi bertingkat. Hasilnya kemudian dapat digunakan untuk membuat berbagai bahan kimia termasuk plastik. Untuk sekarang ini, pirolisis dinilai tidak ekonomis, karena masih tersedia bahan baku yang lebih murah, yaitu dari minyak bumi dan gas alam.
Keuntungan yang diperoleh dari cara pirolisis, salah satunya adalah kita dapat menyortir limbah plastik menurut jenisnya.

Pembuatan Biodiesel dengan Katalis Biologis

Teknik katalisasi biologis (biocatalysis) untuk memproduksi biodiesel, oleic acid alkyl ester (dalam hal ini butil oleat), dari triolein dengan beberapa macam katalis biologis, yakni Candida Antarctica B, Rizhomucor Miehei, dan Pseudomonas Cepacia. Karena mahalnya harga katalis biologis dibandingkan katalis kimiawi, maka penggunaan katalis biologis tersebut dilakukan dengan cara immobilisasi pada katalis.
Teknik ini sekaligus memungkinkan dilakukannya proses kontinyu dalam produksi biodiesel. Temperatur optimum reaksi ini adalah 40oC. Selain itu juga dapat digunakan katalis padat (solid catalyst) dari gula dengan cara melakukan pirolisis terhadap senyawa gula (D-glucose dan sucrose) pada temperatur di atas 300oC. Proses ini menyebabkan karbonisasi tak sempurna terhadap senyawa gula dan terbentuknya lembar-lembar karbon aromatik polisiklis (polycyclic aromatic carbon sheets). Asam sulfat (sulphuric acid) kemudian digunakan untuk mensulfonasi cincin aromatik tersebut sehingga menghasilkan katalis.
Katalis padat yang dihasilkan dengan cara ini disebutkan memiliki kemampuan mengkonversi minyak tumbuhan menjadi biodiesel lebih tinggi dibandingkan katalis asam sulfat cair ataupun katalis asam padat lain yang telah ada sebelumnya.
gb486

Industri Minyak Jagung

Jagung dapat diolah menjadi berbagai macam hasil, agar dapat memberi manfaat yang lebih banyak, dengan memperhatikan selera dan permintaan konsumen.

Proses Pengolahan Jagung

Proses pengolahan terhadap jagung untuk memperoleh minyaknya terdiri dari :
  1. Bagian karbohydrat, diproses menjadi hasil hasil produksi antara lain: beras jagung, tepung jagung, semolina (bahan baku pembuatan bier) dan lain lain.
  2. Bagian Germ ( lembaga ), diproses menjadi minyak jagung, dipakai untuk minyak goreng.
Butir jagung mempunyai kadar minyak rata rata 3 %, tetapi jika diambil lembaganya saja, maka kadar minyak dalam lembaga itu rata rata antara 22 – 28%. Minyak jagung adalah ester dari glyserol dengan asam lemak, dimana semua radikal ( OH ) dari glyserol sudah di esterifikasi, karenanya disebut : Tri Glyserida Ester.
Minyak jagung merupakan minyak yang kaya akan poly unsaturated fat, yaitu lemak tak jenuh yang justru aktif menurunkan kadar cholesterol dalam darah. Cholesterol adalah sterol yang terdapat dalam fat, dan bersifat dapat membuat kerak dalam pembuluh darah, sehingga akan terjadi penyempitan dalam pembuluh darah tersebut akibatnya orang yang terkena akan menderita penyakit “ tekanan darah tinggi. Rumus molekul Cholesterol : C27 H46 O yang umumnya banyak terdapat dalam Lemak hewan.
gb488

Teknologi Proses Produksi Pupuk ZK

Potassium Sulphate (ZK) biasa digunakan sebagai pupuk pada tanaman
Potassium Sulphate (ZK) biasa digunakan sebagai pupuk pada tanaman
Potassium Sulphate (ZK) atau biasa disebut Sulphate of Potash (SOP) telah dikenal sejak abad ke-14 yang merupakan garam berwarna putih dan memiliki sifat tidak mudah terbakar serta larut di dalam air. ZK digunakan sebagai pupuk yakni sumber senyawa kalium dan sulfur pada tanaman perkebunan seperti rami, kapas, dan tembakau. Di Indonesia pupuk ini tidak disubsidi sehingga harganya relatif tinggi di pasaran. Bahan baku sulfat alami untuk pembuatan ZK yang berasal dari pertambangan antara lain adalah lanbeinite (K2SO4.2MgSO4), leonite (K2SO4.MgSO4.4H20), schoenite (K2SO4.MgSO4.6H2O), dan glaserite (K3Na(SO4)2). Pertambangan sumber batuan tersebut banyak terdapat di negara Rusia, Kanada, benua Eropa, Israel, negara-negara timur tengah, Cina, Thailand, Kongo, dan Amerika Serikat.
Pemilihan proes produksi yang digunakan di dalam suatu pabrik pupuk ZK bergantung pada ketersediaan bahan baku. Secara umum ada 7 proses produksi pembuatan pupuk ZK, yaitu:
  1. Dekomposisi KCl dengan Na2SO4
  2. Dekomposisi KCl dengan CaSO4
  3. Dekompisisi KCl dengan MgSO4
  4. Dekomposisi KCl dengan (NH4)2SO4
  5. Proses Hargreaves yaitu mereaksikan gas SO2, O2, dan H2O dengan KCl
  6. Proses Mannheim yaitu mencampur langsung KCl dengan H2SO4 dengan rasio mol tertentu
  7. Pemurnian sumber sulfat alami seperti langbeinite dan kainit

1.   Proses Produksi ZK dengan Dekomposisi KCl dengan Na2SO4

Dewasa ini, sumber yang umum digunakan berasal dari Sodium Sulphate Na2SO4 yang dapat diperoleh dari hasil samping dari beberapa proses produksi yakni:
  1. Pengolahan bijih chromium
  2. Pemurnian flue gas
  3. Pembuatan serat (viscose fibres)
  4. Produksi HCl, pigmen silica, asam lemak, dan trimethylolpropane
  5. Pengolahan limbah asam sulfat
Diagram alir proses ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir proses produksi ZK dengan melalui dekomposisi KCl dengan Na2SO4
Gambar 1. Diagram alir proses produksi ZK dengan melalui dekomposisi KCl dengan Na2SO4
Penjelasan proses:
Bahan baku yang digunakan adalah sodium sulphate baik dalam bentuk anhydrous (Na2SO4) maupun dalam bentuk hydrated (Na2SO4.10H2O). Selain itu digunakan juga potassium chloride (KCl) dalam bentuk larutan pada temperatur 20 – 25ºC. Umpan KCl, Na2SO4, dan recycle mother liquor yang mengandung kristalin glaserite K3Na(SO4)2 dan KCl, serta kondensat hasil kondensasi dari uap evaporator diumpankan ke reaktor. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
4Na2SO4 + 6KCl -> 2K3Na(SO4)2 + 6NaCl
2KCl + 2K3Na(SO4)2 -> 4K2SO4 + 2NaCl
Rasio mol Na2SO4 : KCl dibuat sangat berlebih yakni antara 1 : 6 sampai 1 : 10 untuk mendapatkan konversi yang tinggi (96 – 99%), sedangkan untuk rasio mol ZK : Na2SO4 dijaga 2 : 1. Beberapa variasi rasio mol (mr) bahan baku dan produk terhadap konversi yang diperoleh di dalam reaktor ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh rasio mol reagent terhadap derajat konversi Na2SO4 menjadi K2SO4
Gambar 2. Pengaruh rasio mol reagent terhadap derajat konversi Na2SO4 menjadi K2SO4
Setelah bereaksi di reaktor, produk ZK dipisahkan di filter dan selanjutnya mother liquor yang terbentuk diuapkan di unit konsentrasi 2 tingkat secara bertahap dan diikuti dengan proses kristalisasi pada temperatur rendah (? 2ºC) untuk tahap 1. Setiap mother liquor yang sudah terpisah baik di tahap 1 maupun 2 akan dipisahkan di filter untuk selanjutnya di-recycle kembali ke reaktor, sedangkan uap dari unit konsentrasi akan dikondensasikan terlebih dahulu dan selanjutnya dikirim ke reaktor.
Selain produk ZK juga diperoleh by-product berupa NaCl. Adapun spesifikasi produk ZK adalah sebagai berikut:
K2SO4: 96%-w
Cl- : 0,5%-w
Na+ : 0,2%-w

2.    Proses Produksi ZK dengan bahan baku KCl dan CaSO4

Ada 3 tahapan utama dalam metode proses ini, yaitu:
  1. Pelarutan gypsum
  2. Konversi satu tahap (T = 25ºC)
  3. Siklus amoniak dalam proses
Diagram alir proses dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir proses produksi ZK dengan melalui dekomposisi KCl dengan CaSO4
Gambar 3. Diagram alir proses produksi ZK dengan melalui dekomposisi KCl dengan CaSO4
Reaksi yang terjadi dalam proses ini antara lain:
CaSO4.2H2O + (NH4)2CO3 -> (NH4)2SO4 + CaCO3
2KCl + (NH4)2CO3 -> K2SO4 + 2NH4Cl
Adapun reaksi samping:
CaCO3 -> CaO + CO2
2NH4Cl + CaO + H2O -> CaCl2 + 2NH4OH
2NH4OH + CO2 -> (NH4)2CO3
Karakter dasar dari proses ini ialah adanya sistem recovery multistage untuk gas amoniak dan KCl, juga produk ZK yang dihasilka akan selalu mengandung amonium sulfat yang sangat dipengaruhi oleh komposisi mother liquor.

Pengendalian Proses dan Manfaatnya

Pengendalian proses, dari susunan katanya saja kita sudah dapat menduga arti dari pengendalian proses. Secara sederhana pengendalian proses bisa kita artikan sebagai kegiatan atau langkah-langkah yang di lakukan untuk mengendalikan proses kimia di sebuah pabrik Kegiatan pengendalian proses menjadi sangat penting sekali dikarenakan definisi dari tujuan pabrik itu sendiri.
"Untuk mengubah bahan baku tertentu (umpan masuk) menjadi produk yang diinginkan menggunakan sumber energi yang tersedia dengan cara yang paling ekonomis"
Catat baik-baik "paling ekonomis", camkan itu. Jadi semua proses kimia yang terjadi di sebuah pabrik harus efektif dan efisien. 

Lalu apa saja sih manfaat dari diterapkannya pengendalian proses dalam sebuah pabrik?. Kalau untuk pertanyaan yang satu ini ane akan mencoba menjawabnya satu persatu.   

Pertama, Keamanan terjamin.Ya kemanan bisa terjamin dikarenakan adanya pengendalian proses yang baik. Gak ada lagi cerita reaktor meledak gara-gara kelebihan tekanan dan temperatur, Gak ada lagi istilah keracunan produk kalau konsentrasi komponen bahan baku dapat di monitor. Berarti kejadian beberapa pekan ini (Meledaknya Tabung Gas 3 Kilo)  gara-gara kurangnya pengendalian proses ya? Yups, itu salah satu bukti kongkretnya.

Kedua, Kebutuhan operasi terpenuhi. Jenis peralatan disuatu pabrik kimia mempunyai batasan yang berkaitan dengan operasinya. Batasan seperti itu harus di penuhi selama operasi pabrik Misalnya pompa harus menjaga suatu NPSH tertentu, tanki tidak boleh kosong atau kepenuhan. Nah sistem kendali sangat diperlukan untuk memenuhi semua kriteria proses tersebut.  

Ketiga, Spesifikasi produk terjamin. Pada umumnya sebuah produk memiliki spesifikasi nya tersendiri. Dan biasanya spesifikasi ini lah yang nantinya malah akan menetukan apakah produk kita berkualitas atau tidak. Kalau sudah berbicara tentang kualitas produk tentunya akan saling bersinggungan dengan nilai jual produk kita di pasaran. Melalui  pengendalian proses yang baik kita dapat mengontrol kualitas produk kita.

Pengilangan Minyak Bumi

Sampai saat ini minyak bumi masih menjadi pilihan utama pemenuhan kebutuhan energi indonesia. Dan mungkin juga dunia. Minyak bumi masih dianggap layak menjadi sumber energi meskipun telah banyak penemuan-penemuan lain yang berhubungan dengan sumber energi baru. Sebenarnya secara naluri  saya kurang setuju dengan pemanfaatan minyak bumi yang dilakukan secara besar-besaran. Karena bisa dipastikan akan muncul dampak-dampak negatif dari penggunaan yang terlalu besar. Bahkan sekarang pun sudah muncul wacana wacana Indonesia krisis energi. Saya lebih setuju jikal pemerintah kita mengupayakan pengadaan energi dengan sumber energi alternatif. Ya, tapi apalah arti dari seorang mahasiswa Teknik Kimia semester VIII, tetap saja itu menjadi angan-angan saya pribadi. Kapan Indonesia bisa mengembangkan sumber energi alternatif nya secara besar-besaran. 

Kembali ke judul  Lalu bagaimana kah sebenarnya proses dari pengilangan minyak itu sendiri. Nah mungkin video hasil browsing-an ini bisa sedikit menjelaskan tentang teori dasar pengilangan minyak bumi. Silahkan di tonton deh video yang berdurasi gak lama ini. Jangan nonton FTv sama sinetron terus.... hehhheheheheee
 


Semoga bermanfaat....

Reaktor Katalitik Aliran Bolak-Balik (Reverse Flow Reactor)

Tentunya mahasiswa Teknik Kimia sudah cukup sering mendengar berbagai jenis reaktor dalam mata kuliah Teknik Kimia, mulai dari jenis plug flow reactor, continuous stirred tank reactor, dan lain-lain. Penelitian akhir-akhir ini mulai menganalisis penggunaan salah satu tipe reaktor yang unik, yaitu reaktor katalitik aliran bolak-balik. Reaktor katalitik aliran bolak-balik (Reverse Flow Reactor/RFR) merupakan sebuah reaktor unggun diam (fixed bed) yang khusus. Kekhasan dari jenis reaktor ini berada pada arah alirannya saat melalui reaktor. Aliran fluida yang melalui reaktor diubah arahnya secara periodik dalam selang waktu tertentu. Waktu periodik pergantian arah aliran ini dikenal dengan nama waktu ubah / switching time (Budhi, 2005).
Reaktor katalitik aliran bolak-balik (Reverse Flow Reactor/RFR) memiliki 5 bagian utama, yaitu 2 zona komponen inert, 2 zona komponen katalis, dan 1 zona penukar panas. Pembalikan arah aliran dalam RFR bertujuan untuk menjaga keberadaan zona panas dalam reaktor. Komponen yang masuk ke dalam RFR dengan suhu yang rendah akan dipanaskan oleh unggun inert hingga mencapai temperatur aktif reaksi. Unggun inert menyimpan panas dari hasil reaksi eksoterm sebelumnya, sebelum mengalami pergantian arah aliran. Ujung bagian keluaran RFR, produk gas panas hasil reaksi eksoterm mentransferkan panasnya ke unggun inert yang temperaturnya lebih rendah. Bagian masukan dan keluaran reaktor berupa komponen unggun inert berfungsi sebagai alat penukar panas (recuperative). Sebelum zona panas hasil reaksi eksoterm terdorong keluar dari reaktor karena aliran umpan yang dingin, aliran umpan dibalik ke arah sebaliknya (Effendi dan Kristianto, 2008).
Prinsip utama dari reaktor katalitik aliran bolak-balik dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar tersebut menjelaskan perbandingan sistem kerja pada reaktor biasa dengan forward flow dan reverse flow. Waktu ubah / switching time akan menentukan pergantian mode operasi dari forward flow menjadi reverse flow (Salomons dkk., 2004).

Reverse Flow Reactor
Konsep RFR (a) forward flow dan (b) reverse flow (Wibisono dan Rimbualam, 2009)
Keunggulan Reaktor Katalitik Aliran Bolak-Balik:
1. Efisiensi energi tinggi
Panas yang tersimpan dalam reaktor dapat digunakan untuk pemanasan awal umpan. Apabila kondisi ototermal dapat dicapai, maka sistem reaktor tidak lagi memerlukan preheater untuk pemanasan awal umpan sehingga prosesnya memiliki efisiensi energi yang tinggi (Wibisono dan Rimbualam, 2009).
2. Konversi dan selektivitas lebih tinggi
Penggunaan RFR akan mempengaruhi luas permukaan katalis yang digunakan. Dengan RFR, katalis dapat dioperasikan pada temperatur dan komposisi umpan sedemikian rupa sehingga diperoleh konversi dan selektivitas maksimum. Dibandingkan dengan reaktor aliran sekali lewat, RFR memberikan selektivitas dan konversi yang lebih baik (Boreskov dan Matros, 1983).
3. Dinamika katalis
RFR dapat digunakan untuk menurunkan titik panas (hot spot) pada katalis dan mendapatkan distribusi temperatur yang diinginkan sepanjang bed (Ferreira dkk., 1999). Hal ini mengakibatkan katalis relatif tidak mudah jenuh.
4. Mengurangi biaya investasi
Konstruksi yang lebih efisien dalam penggunaan energi dibandingkan sistem reaktor konvensional dapat mengurangi biaya investasi yang diperlukan (Wibisono dan Rimbualam, 2009).

Daftar Pustaka :
1. Borekov, G.K.; Matros, Yu.Sh., “Unsteady State Performance of Heterogeneous Catalytic Reactor”, Catalyst Review: Science and Engineering 25, 1983.
2. Budhi, Y.W.,”Reverse Flow Reactor Operation for Control of Catalyst Surface Coverage”, Disertasi Doktor, Technische Universiteit Eindhoven, 2005.
3. Effendi, P.G.; Kristianto, J., “Reverse Flow Reactor untuk Mengkonversikan Tar dalam Gas Produser”, Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, ITB, 2008.
4. Ferreira, R.Q.; Costa, C.A.; Masetti, S., “Reverse Flow Reactor for a Selective Oxidation Process”, Chemical Engineering Science 54, 1999.
5. Salomons, S.; Hayes, R. E; Poirier, M.; Sapoundjiev, H., “Modelling a Reverse Flow Reactor for the Catalytic Combustion of Fugitive Methane Emissions”, Computers and Chemical Engineering 28, 1599–1610, 2004.
6. Wibisono, F.; Rimbualam, H. G., “Dinamika Reverse Flow Reactor untuk Oksidasi Emisi Gas Metana Encer”, Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, ITB, 2009.

9 Senyawa Kimia Yang Sangat Berbahaya Bagi Manusia

Beberapa Senyawa kimia yang harus diperhatikan karena berbahaya adalah :
1. AgNO3 (Silver Nitrate)


Senyawa ini beracun dan korosif. Simpanlah dalam botol berwarna dan ruang yang gelap serta jauhkan dari bahan-bahan yang mudah terbakar.

Potensi Bahaya : Dapat menyebabkan luka bakar dan kulit melepuh. Gas/uapnya juga menyebabkan hal yang sama.

2. HCl (Hydro Chloric Acid) - Asam Klorida


Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen klorida (HCl). Ia adalah asam kuat, dan merupakan komponen utama dalam asam lambung. Senyawa ini juga digunakan secara luas dalam industri. Asam klorida harus ditangani dengan wewanti keselamatan yang tepat karena merupakan cairan yang sangat korosif.

Sejak Revolusi Industri, senyawa ini menjadi sangat penting dan digunakan untuk berbagai tujuan, meliputi produksi massal senyawa kimia organik seperti vinil klorida untuk plastik PVC dan MDI/TDI untuk poliuretana. Kegunaan kecil lainnya meliputi penggunaan dalam pembersih rumah, produksi gelatin, dan aditif makanan. Sekitar 20 juta ton gas HCl diproduksi setiap tahunnya.

Potensi Bahaya : Asam klorida pekat (asam klorida berasap) akan membentuk kabut asam. Baik kabut dan larutan tersebut bersifat korosif terhadap jaringan tubuh, dengan potensi kerusakan pada organ pernapasan, mata, kulit, dan usus. Seketika asam klorida bercampur dengan bahan kimia oksidator lainnya, seperti natrium hipoklorit (pemutih NaClO) atau kalium permanganat (KMnO4), gas beracun klorin akan terbentuk.

3. H2S (Hidrogen Sulfida)


Hidrogen sulfida, H2S, adalah gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Gas ini dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di rawa, dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas yang timbul dari aktivitas gunung berapi dan gas alam.

Potensi Bahaya : Menghirup bahan ini dapat menyebabkan pingsan, gangguan pernafasan, bahkan kematian.

4. H2SO4 (ASAM SULFAT)


Asam sulfat, H2SO4, merupakan asam mineral (anorganik) yang kuat. Zat ini larut dalam air pada semua perbandingan. Asam sulfat mempunyai banyak kegunaan dan merupakan salah satu produk utama industri kimia. Produksi dunia asam sulfat pada tahun 2001 adalah 165 juta ton, dengan nilai perdagangan seharga US$8 juta. Kegunaan utamanya termasuk pemrosesan bijih mineral, sintesis kimia, pemrosesan air limbah dan pengilangan minyak.

Asam sulfat terbentuk secara alami melalui oksidasi mineral sulfida, misalnya besi sulfida. Air yang dihasilkan dari oksidasi ini sangat asam dan disebut sebagai air asam tambang. Air asam ini mampu melarutkan logam-logam yang ada dalam bijih sulfida, yang akan menghasilkan uap berwarna cerah yang beracun. Oksidasi besi sulfida pirit oleh oksigen molekuler menhasilkan besi(II), atau Fe2+

Potensi Bahaya :
Sifat-sifat asam sulfat yang korosif diperburuk oleh reaksi eksotermiknya dengan air. Luka bakar akibat asam sulfat berpotensi lebih buruk daripada luka bakar akibat asam kuat lainnya, hal ini dikarenakan adanya tambahan kerusakan jaringan dikarenakan dehidrasi dan kerusakan termal sekunder akibat pelepasan panas oleh reaksi asam sulfat dengan air.

Asam sulfat dianggap tidak beracun selain bahaya korosifnya. Resiko utama asam sulfat adalah kontak dengan kulit yang menyebabkan luka bakar dan penghirupan aerosol asap. Paparan dengan aerosol asam pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan iritasi mata, saluran pernafasan, dan membran mukosa yang parah. Iritasi akan mereda dengan cepat setelah paparan, walaupun terdapat risiko edema paru apabila kerusakan jaringan lebih parah. Pada konsentrasi rendah, simtom-simtom akibat paparan kronis aerosol asam sulfat yang paling umumnya dilaporkan adalah pengikisan gigi. Indikasi kerusakan kronis saluran pernafasan masih belum jelas. Di Amerika Serikat, batasan paparan yang diperbolehkan ditetapkan sebagai 1 mg/m³. Terdapat pula laporan bahwa penelanan asam sulfat menyebabkan defisiensi vitamin B12 dengan degenarasi gabungan subakut.

5. NaOH (Sodium Hidroksida/Soda Api)


Senyawa ini bersifat higroskopis dan menyerap gas CO2.

Potensi Bahaya:
Dapat merusak jaringan tubuh.

Kulit kena NaOH.

6. NH3 (Amoniak)


Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Walaupun amonia memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di bumi, amonia sendiri adalah senyawa kaustik dan dapat merusak kesehatan. Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Pekerjaan Amerika Serikat memberikan batas 15 menit bagi kontak dengan amonia dalam gas berkonsentrasi 35 ppm volum, atau 8 jam untuk 25 ppm volume.

Potensi bahaya :
Kontak dengan gas amonia berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan bahkan kematian. Sekalipun amonia di AS diatur sebagai gas tak mudah terbakar, amonia masih digolongkan sebagai bahan beracun jika terhirup, dan pengangkutan amonia berjumlah lebih besar dari 3.500 galon (13,248 L) harus disertai surat izin.

Menghirup senyawa ini pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan pembengkakan saluran pernafasan dan sesak nafas. Terkena amonia pada konsentrasi 0.5% (v/v) selama 30 menit dapat menyebabkan kebutaan.

7. HCN (Asam Sianida)


Senyawa ini sangat beracun, bahkan ada pada salah satu makanan yang sering kita makan yakni singkong yang mengalami kerusakan. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Asam Sianida juga ada pada buah Kepayang.
Kepayang, kluwek, keluwek, keluak, atau kluak (Pangium edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae, dulu dimasukkan dalam Flacourtiaceae) adalah tumbuhan berbentuk pohon yang tumbuh liar atau setengah liar. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung (begitu pula sebagian orang Jawa Tengah) dan di Toraja disebut panarassan.

Biji keluwek dipakai sebagai bumbu dapur masakan Indonesia yang memberi warna hitam pada rawon, daging bumbu kluwek, brongkos, serta sup konro. Bijinya, yang memiliki salut biji yang bisa dimakan, bila mentah sangat beracun karena mengandung asam sianida dalam konsentrasi tinggi. Bila dimakan dalam jumlah tertentu menyebabkan pusing (mabuk).
Racun pada biji ini dapat dipakai sebagai racun untuk mata panah. Biji ini aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu.
Juga ada artikel yg menyatakan bahwa Asam Sianida (Hidrogen Cynide) dijadikan sebagai senjata pembunuh massal di zaman NAZI-Jerman.

8. HF (Hydrofluoric Acid)


Asam fluorida adalah asam yang sangat korosif, mampu melarutkan banyak bahan, terutama oksida. Kemampuan untuk melarutkan kaca telah dikenal sejak abad ke-17, bahkan sebelumnya asam fluorida telah disiapkan dalam jumlah besar oleh Carl Wilhelm Scheele pada tahun 1771. Karena reaktivitas yang tinggi terhadap kaca dan reaktivitas moderat terhadap banyak logam, asam fluorida adalah biasanya disimpan dalam wadah plastik meskipun politetrafluoroetilena (PTFE) sedikit permeabel.

Potensi Bahaya:
hidrogen fluorida sangat initatif terhadap jaringan kulit, merusak paru-paru dan menimbulkan penyakit pneumonia (gangguan saluran pernafasan).

9. HNO3 (Asam Nitrat)


Asam Nitrat, yang dikenal juga dengan Aqua Fortis merupakan Zat yang Sangat Korosif dan merupakan Asam Yang sangat Beracun.

Potensi Bahaya :
Dapat menyebabkan luka bakar, menghirup uapnya dapat menyebabkan kematian.


Kulit yang terbakar akibat terkena HNO3


Sebuah koin yang larut dalam cairan HNO3 dalam waktu 31 detik..

Teknologi gas sweetening


Teknologi gas sweetening dengan menggunakan alkanolamine atau amine untuk menghilangkan hidrogen sulfida (H2S) dan karbon dioksida (CO2) dari gas alam (natural gas)/gas hasil kilang (off gas) sudah lama diaplikasikan. Pertama kali larutan amine yang digunakan adalah Triethanolamine (TEA) yang ditemukan (dipatentkan) oleh R.R. Bottoms pada tahun 1930 dan menjadi larutan alkanolamine yang pertama kali dikomersialkan. Sejak tahun 1960 dan 1970 beberapa larutan amine telah digunakan, tetapi informasi yang dilaporkan masih terbatas dalam literatur yang menyangkut jenis amine yang mana yang paling cocok dan bagus diaplikasikan ke service tertentu. Banyak unit amine treating yang dioperasikan sangat tidak efisien dimana hal ini dapat dioptimasi dengan sedikit perubahan.
Larutan amine yang digunakan di kilang minyak secara garis besar meliputi 3 jenis : primer, sekunder dan tersier amine. Amine Primer yang langsung bereaksi dengan H2S, CO2 dan COS (carbonyl sulfide) yaitu Monoethanolamine (MEA) dan Diglycolamine (DGA) , amine sekunder yang langsung bereaksi dengan H2S, CO2 dan beberapa COS yaitu : Diethanolamine (DEA) dan Diisopropanolamine (DIPA) dan tersier amine yang bereaksi langsung dengan H2S, bereaksi tidak langsung dengan CO2 dan sedikit COS yaitu Triethanolamine (TEA) dan Methyldiethanolamine (MDEA). Konsep mixed/blended (gabungan) amine secara garis besar adalah gabungan dari MDEA dengan MEA/DEA, dideskripsikan oleh Polasek, Bullin dan Iglesias-Silva (1992). MDEA dipilih sebagai komponen mixed amine karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu : vapor pressure rendah, total acid gas pick up tinggi, tidak mudah degradasi, sedikit korosif, memerlukan heat of reaction lebih rendah, selectivity terhadap H2S tinggi ( dilaporkan oleh Blanc dkk 1982).
Pemilihan jenis absorbent dalam hal ini amine tergantung dari tujuan proses dan karakteristik dari tipe absorbent, antara lain selektivity untuk H2S, CO2, COS, pengendalian kandungan air di umpan gas, pengontrolan kandungan air di sirkulasi absorbent, cost, suplai absorbent, thermal stability, dll. Pemilihan absorbent juga ditentukan oleh kondisi operasi seperti tekanan dan temperature dari umpan gas, komposisinya, dan purity dari produk gas yang diinginkan serta penghilangan secara simultan gas H2S dan CO2 atau hanya selektif H2S dihilangkan. Secara garis besar proses gas treating dapat berdampak ke semua fasilitas pemrosesan gas termasuk pembuangan gas asam, sulfur recovery dehydration, absorbent recovery dll. Untuk proses tertentu, beberapa faktor dibawah ini perlu diperhatikan :
  • § Peraturan mengenai polusi udara sehubungan dengan pembuangan H2S
  • § Jenis dan konsentrasi dari impuritas dalam umpan gas
  • § Spesifikasi dari produk gas (treated gas)
  • § Temperature dan tekanan umpan gas / treated gas
  • § Volume umpan gas yang akan ditreating (kapasitas unit)
  • § Komposisi hidrokarbon dalam umpan gas
  • § Selektivity gas yang akan dibuang
  • § Sirkulasi larutan amine bisa diturunkan dengan pemilihan tipe amine yang tepat
  • § Konsumsi energi
  • § Permasalahan degradasi dan korosi
Kapasitas biasanya hal pertama yang menjadi bahan evaluasi untuk unit baru atau konversi/penggantian absorbent. Kapasitas sirkulasi larutan amine sebagai salah satu prinsip dasar dan kritikal dalam unit amine treating. Operator harus mengukur kekuatan (strength) dari larutan amine yang disirkulasi sehingga larutan tersebut mempunyai kapasitas yang cukup untuk menghasilkan produk gas yang diinginkan. Kekuatan larutan dicerminkan dari persen berat (%wt) larutan amine, sebagai contoh setiap mol H2S bereaksi dengan satu mol amine. Molaritas ( mol/liter ) merupakan ukuran aktual dari kekuatan amine. Pemilihan tipe amine secara garis besar berubah setelah beberapa tahun. Sampai dengan tahun 1970-an, MEA merupakan pilihan utama untuk gas treating. Pada tahun 1975, pemilihan tipe amine berubah dari MEA ke DEA , dan 10 tahun terakhir ini MDEA, DGA dan mixed amine banyak diaplikasikan dan lebih populer.

Hydrocracking Process

Hydrocracking merupakan suatu proses yang mengkonversi umpan menjadi produk yang lebih ringan dengan bantuan katalis dan gas hidrogen. Selain itu hydrocracking dapat didefinisikan sebagai proses produksi fraksi-fraksi ringan berkualitas tinggi dari minyak berat dengan bantuan hidrogen.
Proses hydrocracking (unicracking) memiliki aplikasi yang cukup luas antara lain untuk konversi :
- Naphtha ==> propane dan butane (LPG) - Kerosene ==> naphtha - Straight run diesel ==> naphtha – jet fuel - Atm. gas oil ==> naphtha, jet fuel, distillates - Natural gas condensate ==> naphtha - Vacuum gas oil ==> naphtha, jet fuel, distillates, lube oil - Deasphalted/Demetalized oil ==> naphtha, jet fuel, distillates, lube oil - Cat. cracked light cycle oil ==> naphtha - Cat. cracked heavy cycle oil ==> naphtha, distillates - Coker distillates ==> naphtha - Coker heavy gas oil ==> naphtha, distillates Semua aplikasi ini secara umum memiliki kesamaan kondisi operasi yaitu : - Mengkonsumsi hidrogen - Beroperasi pada tekanan tinggi (100 – 200 kg/cm2) - Beroperasi pada temperatur tinggi (300 – 450 oC) - Secara keseluruhan, reaksi adalah eksotermik - Menggunakan katalis
I. TEORI HYDROCRACKING
Hydrocracking merupakan proses yang dikembangkan oleh Universal Oil Product untuk merengkahkan minyak fraksi berat menjadi fraksi yang lebih ringan dan bernilai ekonomi tinggi secara katalitik. Pada umumnya umpan proses hydrocracking adalah heavy atmospheric gas oil, heavy vacuum gas oil, atau cracked gas oil (catalytic maupun thermal). Umpan ini kemudian dikonversikan menjadi produk dengan berat molekul lebih rendah (pada umumnya naphtha atau middle distillates). Bersamaan dengan terjadinya reaksi perengkahan, terjadi pula reaksi hydrotreating yaitu reaksi untuk menghilangkan senyawa sulfur, nitrogen, oksigen dan penjenuhan olefin.
Berdasarkan penjelasan di atas, reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses konversi dapat dibeadakan menjadi dua, yaitu :
- Hydrotreating : penghilangan senyawa nitrogen, oksigen, sulfur, logam, halida, penjenuhan olefin dan aromatik
- Hydrocracking : perengkahan parafin, naphthene, aromatik
Reaksi hydrotreating terjadi pada metal site katalis sedangkan reaksi hydrocracking terjadi pada acid site katalis. Reaksi hydrotreating memiliki laju reaksi yang lebih cepat dari reaksi hydrocracking.
1.1. Reaksi Penghilangan Sulfur
Senyawa sulfur yang terdapat dalam umpan biasanya berbentuk merkaptan, sulfida, disulfida, sulfida siklik dan thiophene. Senyawa-senyawa tersebut mengalami hidrogenasi dan sulfur terkonversi menjadi H2S.
1.2. Reaksi Penghilangan Nitrogen
Senyawa-senyawa nitrogen yang terdapat dalam umpan biasanya berupa pyridine, quinoline dan pyrrole. Reaksi denitrogenasi lebih sulit daripada reaksi desulfurisasi. Reaksi denitrogenasi diawali dengan penjenuhan ikatan aromatik kemudian pemutusan rantai kemudian diakhiri dengan denitrogenasi. Dari proses denitrogenasi ini dihasilkan ammonia.
1.3. Reaksi Penghilangan Oksigen
Senyawa oksigen organik dihilangkan dengan reaksi hidrogenasi ikatan hidroksil karbon dan menghasilkan air.
1.4. Reaksi Penjenuhan Olefin
Penjenuhan olefin berlangsung sangat cepat dan menghasilkan panas reaksi yang besar.
1.5. Reaksi Penghilangan Logam
Pada dasarnya mekanisme dekomposisi senyawa organometalik tidak diketahui dengan pasti. Walaupun demikian diketahui bahwa logam yang terdekomposisi akan tertinggal di permukaan katalis.
1.6. Reaksi Penjenuhan Aromatik
Reaksi penjenuhan senyawa aromatik paling sulit dilakukan karena keterbatasan kesetimbangan. Reaksi ini menghasilkan panas yang sangat besar.
1.7. Reaksi Penghilangan Senyawa Halida
Senyawa halida organik terdekomposisi dan membentuk garam ammonium halida. Garam tersebut kemudian dilarutkan dengan injeksi wash water.
1.8. Reaksi Hydrocracking
Reaksi hydrocracking dari parafin, naphthene dan aromatik dapat dibagi menjadi tahap pembentukan olefin di pusat metal katalis, kemudian pembentukan dan perengkahan ion karbonium serta hidrogenasi pada pusat acid katalis.
II. KATALIS
Katalis adalah substansi yang mempercepat laju reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi tersebut tanpa ikut bereaksi. Kemampuan atau kinerja katalis dapat diukur dari aktivitas, selektivitas, stabilitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Aktivitas merupakan ukuran terhadap tingkat konversi umpan, yang diukur dengan temperatur bed katalis. Selektivitas merupakan ukuran kemampuan katalis untuk menghasilkan produk yang diinginkan, biasanya dinyatakan dalam %-yield (perolehan). Kinerja katalis ini dapat ditingkatkan dengan mengatur kondisi operasi antara lain meningkatkan tekanan parsial hidrogen, menaikkan combined feed ratio, endpoint produk yang lebih tinggi dan LHSV yang rendah.

Heavy Poly Nuclear Aromatic

PNA (polynuclear aromatic) adalah polycyclic, hydrocarbon yang terkondensasi, dimana mengandung 2-6 cincin aromat. HPNA adalah PNA dengan 7+ cincin aromat.
Ciri-ciri HPNA : • Mempunyai 7+ cincin aromat • Mempunyai melting point tinggi. • Senyawa polynuclear aromatic yang sulit larut atau dipecahkan pada temperatur rendah. PNA = PCA (polycyclic aromatics) = PAH (polyaromatics hydrocarbon)
Contoh PNA / HPNA : Sumber HPNA :
  • PNA dengan cincin (ring) 2 - 6 dari Straight Run Feed
  • 7+ ringed PNA terbentuk dalam reaktor
  • End Point Feed (umpan) yang lebih tinggi banyak mengandung precursor
  • Pada tingkat konversi yang lebih tinggi akan terakumulasi.
Pengaruh HPNA terhadap Katalis
1. Memperpendek umur katalis
Semakin tinggi kandungan PNA dalam feed, semakin besar juga kemungkinan terbentuknya HPNA dalam reaktor. Dengan terbentuknya HPNA dalam reaktor, maka HPNA tersebut akan menutupi pada permukaan katalis yang mengakibatkan luas permukaan katalis semakin berkurang. Dengan kondisi seperti ini, untuk mencapai tingkatan konversi tertentu, memerlukan temperatur reaksi yang lebih tinggi. Hal ini akan mempercepat deaktivasi rate katalis dan selanjutnya umur katalis menjadi lebih pendek.

2. Menyebabkan fouling pada peralatan down stream.
Umumnya fouling (penyumbatan) terjadi pada peralatan yang mempunyai luas permukaan yang kecil, sebagai contoh : Heat exchanger (pada bagian tube side), Filter , dsb.

Cara Mengatasi HPNA :
  • Hot Flash Separation (pemisahan)
  • HPNA Adsorption (penyerapan HPNA)
  • Indirect Recycle (feed dikembalikan secara tidak langsung
Keuntungan dari manajemen HPNA yaitu :
  • Mengurangi fouling peralatan
  • Menaikkan selectivity
  • Memperpanjang umur katalis

CO2 Removal

Carbon Dioxide (CO2) gas must be removed and recovered from ammonia process gas to make it fit for the synthesis reaction and later used for urea production. The removal of CO2 gas in ammonia plant is considered as a key stage in ammonia production. Organic amines (Primary, Secondary & Tertiary) have the ability to perform alone, or in combination with an inorganic salt the CO2 removal from gas mixture. The analysis of these organic amines in the scrubbing solution is usually performed by a recommended traditional procedure supplied by manufacturer, where the concentration of the concerned amine is determined by spectrophotometric or potentiometric methods.
These methods suffer from many disadvantages like interference with degraded amine products & carbon dioxide. Furthermore, these methods are not accurate and are unsuited to distinguish between different amines. The method gives the specific determination of each amine like (DEA, ACT-1, MDEA & Piperazine). The method is simple, accurate and allows the determination of amines even in CO2 loaded solution. Profitability and reliability in ammonia plants depends heavily on the efficiency of the CO2 removal from process gas. New technologies have dramatically improved the absorption rate efficiency, reduced CO2 slip to a few parts per million by volume, lowered energy requirements for CO2 regeneration and minimised corrosion in plant equipment. In addition, emerging technologies now apply non-toxic scrubbing solutions. Primary and secondary Organic amines, Monoethanol amine (MEA) and Diethanolamine (DEA) are currently employed alone and or in combination with hot potassium carbonate solution to catalyse the CO2 removal Process[1]. They achieve this catalysis by increasing the absorption rate of the chemical reaction between CO2 gas and the solution. Tertiary amines, Methyldiethanol amine (MDEA) on the other hand do not have a hydrogen atom attached to the nitrogen. The CO2 reaction can only occur after the CO2 dissolves in the water to from a bicarbonate ion. The bicarbonate formation is slow and only occurs in the liquid phase. Thus to effectively use MDEA for bulk CO2 removal, the liquid phase residence time should be high so that the CO2 reaction occurs efficiently. The disadvantage of using MDEA alone was solved by addition of an activator, namely Piperazine a cyclic amine, which has revolutionised the technology for CO2 removal. CO2 absorption by pure MDEA is quite slow but Piperazine enhances the absorption rate. The variation of the activator concentration can shift the thermodynamic behaviour in terms of process economics, reliability, energy consumption, corrosion control etc. Unlike MEA and DEA, the inability of tertiary amine to react with CO2 to form amides and subsequently amine carbamate may be the reason why these are less corrosive. Amines are usually prone to foaming but such tendency is not pronounced with MDEA solution. A mild dose of antifoam agent controls containment-induced foaming. Activating Agent in CO2 Removal :
  1. Diethanolamine (DEA) is a secondary amine : HO-CH2-CH2
  2. ACT-1 used in Ammonia -2 is a ploy alkyl amine. It is a proprietary chemical supplied by UOP Incorporated, USA
  3. Methyl Diethanol amine (MDEA) a tertiary amine : HO-CH2-CH2 NCH3 MDEA HO-CH2-CH2
  4. Piperazine is a cyclic amine which as an activator in scrubbing solution.
Each scrubbing solution has its own amine to promote the efficiency of the CO2 removal. Licensors supplied method to test their solution. Hence, Lab has been adopting three methods to quantify the amine content in its scrubbing solutions. Many times the inaccuracy was obvious. Samples of the same solution at different stages of the same system gave different results on the same amine. Specification check results on new chemical consignment lead to dispute with suppliers. Several check samples were done during CO2 slip to ascertain the amine content. Apart from involving three different methods there were many problems associated with these determinations.

Distillation Columns

When your basic column controls fail, a quick thinking engineer can save a company alot of money. Weighing the financial options before the incident happens can help you feel secure in you decisions when you make them. We'll have a look at three scenarios that you may not have thought of, but may encounter. Let's start with a basic, optimized column design as described in Table 1: Table 1: Column Design Specifications Feed Temperature (oC) 90.0 Feed Pressure (kPa) 19.0 Top Pressure (kPa) 6.5 Bottom Pressure (kPa) 15.8 Reflux Ratio 12.2 R/Rmin 1.18 Feed Stage 9 Number of Actual Trays 31 Tray Efficiency 78% Diameter (m) 1.2 Length (m) 22 Flooding 53% Condenser Heat Duty (MJ/h) -2726 Reboiler Heat Duty (MJ/h) 2679 Acrylic Acid Purity 99.9%
Figure 1 shows a material balance around the column: 
qdist2.gif (5633 bytes)
Scenario One Situation: Following a short time during which capacity was increased, there was some difficulty in adjusting the utility flow rates in order to get the column to operate properly. It seems that the column is currently using more cooling water and steam than the current feed flowrate should require to obtain the necessary purity according to the column design. The utilities had to be taken off of automatic control and adjusted manually causing extensive amounts of downgraded material because the purity specification was not being met.  
 
Consequences: Lost revenue due to off specification material.  
 
Cause: During the scale up, the utilities are increased to handle the additional heat duty. When production returned to normal, the steam flow in the reboiler was reduced according to the feed flow, not the original conditions before the scale up (although there should be no difference). However, the design utility flowrates can seldom accurately predict fouling. This means that more utilities may be required than specified by the design specifications. This is the case here.  
 
Solution: After increasing the steam flow to it's proper set point, refine the operating procedure for capacity changes. The correlation between feed flow and steam may need to be re-examined. Over time, the steam flow may gradually increase to maintain purity. Mineral buildup in the reboiler (fouling) may need to be accounted for in the correlation. For example, the feed flow-utility flow correlations may also need to be time dependent to account for the fouling in the reboiler/condenser. Examining the column's history may be helpful here. You may be tempted to say, "Why don't we just use the set points that we used before the scale up?". That will work if you are returning to exactly the same flowrate, but you may be required to change capacity to flowrate that you don't have a reference point for in the immediate past.
 
Scenario Two
Situation: The acrylic acid is stored in holding tanks until shipment to customers. The purity is tested in the lab everyday and continuously online. Currently, one of the acrylic acid tanks is off specification at 99.5% pure. The condenser and reboiler utility streams have been behaving strangely by oscillating up and down in the past two days. Because these oscillation have been small and barely outside of set point parameters, no changes were made. The concentration detector that measures the online concentration of the acrylic acid has been operating properly.

Consequences: If shipped as is, this material would have to be downgraded resulting in a serious financial loss.

Cause: All to often, engineers forget about one simple upset in columns. Feed surges can cause small amounts of off specification material to slip through the column. In this case, feed surges have been occurring frequently in the past 48 hours causing the utilities to oscillate up and down trying to compensate. During compensation, enough off grade material has made it through the system to contaminate the entire tank.

Solution: Manually increase the utilities such that the required purity is maintained even through the feed surges. When the feed is stable, the product will be over purified and may be able to increase the overall purity of the tank. Although more money will be used in utilities, the profits from upgrading the material in the tank will be much greater over a short time span. Don't forget to find out what is causing the surges and correct that problem too!

Scenario Three
Situation: One day while browsing the recent column history, you decide to check the current performance against the design performance. This seems like a good idea since the column has been in operation for 15 years. It has always been used for the same purpose and it is currently operating at its design feed flowrate. You are stunned to learn that the current reflux rate of 80 kmol/h is 20% higher than the design reflux rate! The purity that the column is producing is no more than the intended design purity. For some reason, the column is literary straining to perform this separation....but why?

Consequences: The additional reflux has forced the column to handle heat duties that are much higher than they should be. This is costing the company thousands of dollars each year.

Cause: Since the column is under a vacuum, only glass covered view ports above the trays are available to look into the column making it difficult to see the bottom of the plates. After having a contractor perform a grid scan with radioactive isotopes, you confirm your suspicion....the column is experiencing serious flooding. Although thoughtfully designed with stainless steel trays, nothing can withstand acid forever and the tray openings have been corroded.

Solution: At the next shutdown, new trays should be installed, along with view ports situated just below one of the trays so that flooding can be checked visibly. Although you may think that view port placement should be a "no brainer", I've seen them placed where they were nearly useless! Once the new trays are in place, watch the utility costs drop and line up for a promotion. But, why wasn't this checked long ago? Remember, the column was operating "normally" in terms of purity and often times that is all that management really cares about!

Source : www.cheresources.com/qdistzz.shtml

Specific Gravity

Specific Gravity is defined as the ratio of the density of a given substance to the density of water, when both are at the same temperature, it is therefore a dimensionless quantity (see below). Substances with a specific gravity greater than one are denser than water (and so will sink in it), and those with a specific gravity of less than one are less dense than water (and so will float in it). Specific gravity is a special case of, or in some usages synonymous with, relative density, with the latter term often preferred in modern scientific writing.
The use of specific gravity is discouraged in technical use in scientific fields requiring high precision — actual density (in dimensions of mass per unit volume) is preferred.
Specific gravity, SG, is expressed mathematically as:
\mbox{SG} = \frac{\rho_\mathrm{substance}}{\rho_{\mathrm{H}_2\mathrm{O}}}
where \rho_\mathrm{substance}\, is the density of the substance, and \rho_{\mathrm{H}_2\mathrm{O}} is the density of water. (By convention ρ, the Greek letter rho, denotes density.) The density of water varies with temperature and pressure, and it is usual to refer specific gravity to the density at 4°C (39.2°F) and a normal pressure of 1 atm. In this case \rho_{\mathrm{H}_2\mathrm{O}} is equal to 1000 kg·m−3 in SI units (or 62.43 lb·ft−3 in United States customary units).
Given the specific gravity of a substance, its actual density can be calculated by inverting the above formula:
{\rho_\mathrm{substance}} = \mbox{SG} \times \rho_{\mathrm{H}_2\mathrm{O}}
Occasionally a reference substance other than water is specified (for example, air), in which case specific gravity means density relative to that reference.
Specific gravity is by definition dimensionless and therefore not dependent on the system of units used (e.g. slugs·ft−3 or kg·m−3). However, the two densities must of course be converted to the same units before carrying out the numerical ratio calculation.

Flare Gas Recovery Unit

Flare Gas Recovery adalah salah satu metode yang digunakan untuk menurunkan flare loss dengan cara me-recover flare gas yang mempunyai nilai potensial untuk dijadikan sebagai feedstock (feed Hydrogen Plant), fuel ataupun product (seperti LPG). Flare Gas Recovery Unit ini juga dapat menurunkan emisi kilang dari produk samping pembakaran seperti NOX, CO, dan CO2.
Flare Gas Recovery Unit memberikan keuntungan bagi suatu unit proses / kilang, yaitu :
  • Menurunkan flare loss
  • Menurunkan fuel consumption suatu kilang
  • Menurunkan steam consumption suatu kilang
  • Meningkatkan flare tip life.
  • Menurunkan emisi dari operasi kilang.
Berikut metode yang digunakan untuk menurunkan flare loss :
  1. Review kondisi peralatan proses untuk minimize bukaan control valve yang ke flare.
  2. Mengidentifikasi valve yang bocor ke flare secara terus menerus dan lakukan perbaikan.
  3. Pertimbangan pemasangan flare gas recovery.
Potensi Penghematan Flare Gas Recovery. Potensi penghematan yang diperoleh dari flare gas recovery adalah cukup siqnifikan.
Tabel.1 merangkum penghematan kotor per tahun untuk 2 hipotesis kilang yang mengolah 100,000 barrel/day. Refinery A, yang mempunyai flaring sekitar 0.15 % dari intake / feed dapat memperoleh saving sekitar $ 225,000 / tahun jika 90 % dari flare gas dimanfaatkan sebagai fuel gas. Untuk refinery yang mempunyai flaring lebih tinggi seperti refinery B, potensial penghematannya meningkat sampai $ 735,000 / tahun dengan asumsi bahwa 90 % gas dimanfaatkan kembali sebagai refinery fuel. Estimasi ini disusun dari data perhitungan flare loss suatu refinery. Potensi penghematan rata-rata lebih besar, khususnya untuk refinery dengan konversi tinggi. Penghematan yang ditunjukkan disini didasarkan pada pemanfaatan kembali flare gas sebagai refinery fuel.Bahkan penghematan yang lebih besar mungkin dapat diperoleh jika gas ini dapat dimanfaatkan kembali sebagai produk. Tabel 1. Potential Refinery Saving – Flare Gas Recovery Systems Typical 100,000 BBL/D Refinery, Average wt % of Refinery Total Value ($/YR) If
Throughput Flared BBL/YR Flared 50 % Recovered 90 % Recovered Refinery A -Low Flaring (0.15 wt%) 54,000 BBL/YR 120,000 $/YR 225,000 $/YR Refinery B -High Flaring (0.15 wt%) 180,000 BBL/YR 400,000 $/YR 735,000 $/YR Sistem Pengontrol Emisi
Sistem flare gas recovery dengan emisi lebih rendah dilakukan dengan merecover flare gas sebelum dibakar di flare. Dalam praktek, system flare gas recovery mengumpulkan gas dari flare header sebelum menuju ke flare, menekan dan mendinginkannya untuk digunakan kembali dalam system refinery fuel gas (Gambar.3). Sebaliknya tergantung pada komposisi flare gas, vapor yang direcover juga dikembalikan sebagai refinery feed stock. Sistem flare gas recovery memberikan keuntungan lain yaitu dengan adanya penurunan biaya fuel gas, nyala api, bau dan media pembantu flare untuk menghilangkan asap seperti steam. Operator refinery mengakui bahwa implementasi system recovery ini memerlukan evaluasi operasi flare existing dan rancangan unit recovery. Sistem recovery unit harus memproses flare gas secara aman dan efisien. Oleh karena itu, refinery mengembangkan strategi total project yang meliputi fasilitas analisa proses data, review peralatan flare existing, detail fabrikasi design system dan instalasi, commissioning, training dan performance test. Refinery Arkansas mengoperasikan 2 macam flare, satu untuk service tekanan rendah dan yang lain untuk service tekanan tinggi. Melalui pembakaran, flare membuang gas buangan ke lingkungan secara aman. Dalam operasi refinery / kilang, gas buangan yang mudah terbakar di venting / dibuang dari unit proses selama unit upset ataupun unit normal operasi. Buangan gas dikumpulkan dan dikirim ke flare system melalui pipa header untuk pembuangan yang aman. Fungsi utama flare adalah untuk melindungi fasilitas-fasilitas, pekerja dan lingkungan sekitar kilang, Flaring gas menciptakan emisi-emisi seperti Nitrogen Oxides (NOx) Sulphur Oxides (SOx) dan greenhouse gas (CO2, CO). Komponen-komponen ini berkombinasi dengan hydrocarbon yang tidak terbakar mempunyai kontribusi terhadap total emisi. Dalam koordinasi dengan departemen yang mempunyai wewenang terhadap lingkungan, refinery ini melakukan investigasi potensi-potensi yang ada untuk mengurangi total emisi. Berdasarkan hasil investigasi dari kedua pihak, refinery dan departemen lingkungan sepakat untuk memulai suatu rencana penurunan emisi yang lebih rendah dengan melakukan penurunan flaring pada bagian ini. Flare gas recovery sudah terbukti sebagai solusi yang lebih baik.
Diskripsi Proses
Flare Gas Recovery System yang diusulkan adalah paket skid-mounted peralatan utamanya terdiri dari 2 compressor yang mengkompresi gas dari flare gas header upstream liquid seal drum, dan mendinginkannya untuk digunakan kembali di fuel gas system. Secara normal gelembung flare gas melalui water seal dalam seal drum upstream flare stack. Level liquid dalam seal drum menentukan positive back pressure dalam flare header dan menjamin bahwa udara tidak masuk / tertarik ke dalam flare system. Untuk penyediaan tekanan suction yang lebih baik sementara menghindari masuknya udara ke suction flare gas compressor, modifikasi diperlukan untuk menaikan level air dalam water seal drum. FGRS diletakan pada downstream knockout drum flare gas dari berbagai unit dalam refinery. Flare gas masuk ke compressor pada tekanan 1.1 kg/cm2 Abs dan 38 oC. Resirkulasi flow air proses secara kontinyu masuk compressor untuk kompresi, sealing dan pendinginan gas. Sesudah meninggalkan compressor , gas, air dan campuran hydrocarbon masuk Gas/Liquid Separator dimana gas yang dikompresi dipisahkan dari air dan kondensat hydrocarbon secara gravity karena kecepatan gas yang lebih rendah. Flare gas yang terpisah melalui demister sebelum meninggalkan Gas/Liquid Separator agar supaya kandungan air dan kondensat hydrocarbon dalam gas sekecil mungkin. Dan gas keluar dari top Gas/Liquid Separator pada tekanan 8.0 kg/cm2 Abs dan temperatur kira-kira 50 oC. Water proses meninggalkan Gas/Liquid Separator dari bottom dimana ditekan kembali ke compressor akibat perbedaan tekanan antara Gas/Liquid Separator dan inlet compressor (liquid ring). Operasi normal flow rate liquid ring kira-kira 32 m3/hr. pada 38 oC. Shell dan tube cooler pada liquid ring line menjamin pendinginan pada ring dan oleh karena itu kompresi gas isothermal. Cooler didisain untuk duty 2 compressor. Flare gas dalam kondisi kering tetapi proses kompresi, gas menjadi jenuh dengan air. Ini menyebabkan air secara kontinyu menurun dalam system. Akibat kenyataan ini dan untuk menghilangkan liquid ring water proses dari hydrocarbon, line make up water ke line suction compressor disediakan. Hydrocarbon yang terkondensasi meluap ke OWS dari tempat dimana kondensat dikeluarkan dengan menggunakan Level Controll Valve. Water proses meluap melalui weir ke alat pengumpul. Level di alat tersebut di jamin oleh control valve yang dikontrol oleh level transmitter. Excess water dikirim ke OWS.Unit ini mempunyai by-pass / spill back antara inlet dan outlet unit untuk mengontrol tekanan inlet. Jika tekanan inlet turun dibawah nilai tertentu, valve mulai membuka sampai tekanan inlet naik. Gas dari Gas/Liquid Separator dialirkan ke Flare Gas Amine Absorber dimana gas ditreating di Amine unit untuk menghilangkan H2S yang ada dalam gas. Gas treated dari Amine Absorber dialirkan ke Fuel Gas header. Jika volume gas dilepas ke flare system melebihi kapasitas Flare Gas Recovery System, kelebihan volume gas akan mengalir ke flare stack. Jika volume gas yang dilepas ke flare system lebih kecil dari kapasitas penuh (disain) recovery unit, valve spillback akan mengarahkan discharge gas kembali ke suction header untuk mempertahankan kapasitas FGRS.
Pemilihan Compressor
Pemilihan compressor dan perancangan compressor adalah penting untuk kapasitas dan kemampuan system. Pada tahap perancangan project, John Zink memlih tipe dan jumlah compressor yang paling cocok untuk aplikasi. Teknologi liquid compressor digunakan secara umum karena kontruksinya yang kuat dan tahan terhadap hantaman liquid dan penyumbatan gas yang kotor. Bagaimanapun aplikasi spesifikasi teknik memungkinkan menggunakan tipe compressor lain seperti rotary screw, reciprocating, sliding vane, atau rotary lobed. Liquid ring compressor lebih disukai dan paling tepat dari type lain (seperti reciprocating, screw, sentrifugal, dll) yang tersedia di pasar untuk servis ini, dimana liquid ring compressor menjamin mendekati kompresi isothermal dan pada hakekatnya beroperasi explosion proof.
Liquid Seal
Selama operasi, flare gas recovery unit melepaskan gas dari main flare header. Dalam kondisi yang tidak terkendali, hal ini akan menciptakan kondisi vakum yang tidak diinginkan dalam header dan memungkinkan udara tertarik masuk ke system dari flare tip. Oleh karena itu kondisi positip pressure dalam flare header harus dipertahankan dengan menggunalan liquid seal. Liquid seal drum mempunyai peralatan internal yang menjamin flow gas yang ke flare tip dalam kondisi steady hingga menaikkan kapasitas makimum smokeless flare dengan jumlah tambahan energi yang minimum.
Keuntungan utama liquid seal yakni :
  1. Mempunyai performance yang terbukti baik dalam banyak flare.
  2. Meminimize noise akibat tidak stabilnya pembakaran
  3. Positif flame arrestor dalam kejadian flash back.
  4. Meminimize entrainment.
FGRU (Flare Gas Recovery Unit) menarik gas dari upstream liquid seal drum flare header dan me-recover gas yang normalnya dibakar di flare. Recovery system beroperasi untuk mempertahankan sedikit positip pressure pada flare header upstream liquid seal, hal ini untuk menjamin udara tidak masuk ke flare gas recovery unit. Jika sejumlah gas dilepaskan ke flare system melebihi kapasitas flare gas recovery unit, pressure dalam flare header akan naik sampai melewati tekanan balik yang diciptakan oleh level liquid dalam liquid seal drum. Pada titik ini, sejumlah gas lebih akan mengalir ke flare. Jika sejumlah gas yang dilepas ke flare system lebih kecil dari kapasitas penuh FGRU, maka system akan menurun secara otomatis dengan mengatur stage compressor dan mengarahkan discharge gas kembali ke suction header. Dasar operasi FGRU menggunakan teknologi liquid ring compressor sebagai berikut :
Flare gas yang direcover mengalir langsung ke FGRU skid dan menuju liquid ring compressor. Gas yang direcover dan sebagian liquid sealing bergabung didalam compressor dan dischargenya masuk ke vessel separator, disini liquid dan gas akan dipisahkan. Selanjutnya sealing liquid compressor didinginkan menggunakan heat exchanger dan dikembalikan lagi ke compressor. Volumetric control dilengkapi dengan menggunakan sensor tekanan suction yang mengawali signal ke Programmable Logic Controller (PLC). PLC mengontrol peralatan yang penting untuk menjaga flow yang tepat ke FGRU.
Preliminary Design
Refinery menghubungi team engineer flare gas recovery yang mempunyai pengalaman dari segi teknologi flae dan aplikasi recovery untuk melakukan penilaian engineering awal dan studi kelayakan. Team engineering ini melakukan pengujian untuk mengumpulkan data operasi dan mereview peralatan existing untuk menetapkan design system flare gas recovery yang secara efisien mengontrol emisi pada modal dan biaya operasi yang efisien. Untuk menentukan flow rate flare header secara tipical, engineer memasang peralatan instrumentasi di upstream pada masing-masing flare. Flow ini diukur dan direcord secara electronic untuk beberapa minggu untuk mengetahui pola aliran dihubungkan dengan kondisi normal operasi harian. Selama survey flare gas, Juru teknik laboratorium refinery mengumpulkan sampel gas yang dianalisa dengan gas chromatography untuk menentukan komposisi flare gas. Secara bersamaan, team mereview design dan operasi kedua fasilitas flare untuk menentukan kemungkinan hubungan hasil antara flare existing dengan flare gas recovery unit yang baru. Tahapan penting ini memperkenalkan modifikasi ke peralatan flare existing dan control yang diperlukan untuk integrasi dan menjaga performance flare gas recovery unit yang optimum. Hasil test menunjukan bahwa liquid seal vessel flare existing harus dimodifikasi untuk mendapatkan / memenuhi parameter performance refinery yang ditentukan.
 
Copyright © Chemical Engineer. Design by Best Website Design
Buy Traffic and Templates On Sales